"GOOD BYE, MISS J!"
by: Jelia Megawati Heru
Staccato, January 2016
Tahukah Anda,
70 persen dari
murid yang belajar piano akan berhenti
dari pelajaran piano nya dalam 1-2
tahun?
Hal ini rawan terjadi di kalangan murid pemula yang berumur 6-8 tahun. Prosentase ini menjadi semakin tinggi pada murid piano dalam tahun pembelajaran ke-3 nya dan pada kasus murid yang usianya masih terlalu muda. Karena pada tahun ke-3, pelajaran piano menjadi lebih sulit daripada 2 tahun pertamanya. Ketika pelajaran menjadi sulit, umumnya mereka akan memilih untuk menyerah dan berhenti.
Sebagai guru musik, suka atau
tidak, kita harus menerima kenyataan, bahwa murid tidak akan bertahan
selamanya. Bagaimanapun cocoknya dan sayangnya Anda terhadap murid Anda, suatu
saat mereka akan meninggalkan Anda.
Setiap murid mempunyai masa kritisnya sendiri, dimana mereka berada dalam titik jenuh dan ingin berhenti. Terkadang kita bisa melihat tanda-tandanya, tapi terkadang hal ini juga tidak dapat diprediksi. Banyak alasan mengapa murid berhenti dari pelajaran musiknya. Namun pertanyaannya adalah bukan apa alasan murid berhenti, tapi bagaimana suatu hubungan guru-murid itu diakhiri? Secara sepihak, baik-baik, atau tiba-tiba menghilang ditelan angin? Sedih, kecewa, marah? Sudah pasti! Tapi bagaimana kita harus menyikapinya? Lalu apa efek penghentian pelajaran musik bagi murid?
“Even a doctor loses a patient now and again.
You couldn’t save everybody. That’s life!”
Setiap murid mempunyai masa kritisnya sendiri, dimana mereka berada dalam titik jenuh dan ingin berhenti. Terkadang kita bisa melihat tanda-tandanya, tapi terkadang hal ini juga tidak dapat diprediksi. Banyak alasan mengapa murid berhenti dari pelajaran musiknya. Namun pertanyaannya adalah bukan apa alasan murid berhenti, tapi bagaimana suatu hubungan guru-murid itu diakhiri? Secara sepihak, baik-baik, atau tiba-tiba menghilang ditelan angin? Sedih, kecewa, marah? Sudah pasti! Tapi bagaimana kita harus menyikapinya? Lalu apa efek penghentian pelajaran musik bagi murid?
1. Umur terlalu muda
Banyak orang tua yang berpikir
semakin muda umur anak dalam memulai pelajaran instrumen musiknya, semakin baik
pula efek dan semakin besar manfaatnya terhadap perkembangan anak. Hmm… Opini ini tidak sepenuhnya benar.
Pelajaran instrumen musik akan menjadi optimal, ketika anak berada dalam
kondisi belajar yang ideal. Paling tidak anak sudah bisa membaca, menulis,
berkonsentrasi, mampu menerima instruksi, dan bisa dituntut untuk berlatih.
Coba pikirkan, apakah anak umur
3 tahun mempunyai kesadaran untuk berlatih rutin setiap hari? Apakah anak umur
3 tahun bisa memahami konsep musikal dan berkonsentrasi selama 30 menit? Lantas
ketika anak menjadi bosan dengan pelajaran instrumen musik nya, apakah berarti dia bisa mulai
menangis dan berhenti kapan saja?
Orang tua dan anak harus bisa
menerima kenyataan, bahwa belajar musik bukan hanya “fun” saja, tetapi membutuhkan komitmen jangka panjang untuk
disiplin dalam latihan dan perlunya kerja keras (termasuk mengerjakan PR!).
Apakah murid bisa lulus ujian dan naik kelas tanpa mengerjakan PR apapun? Tentu
TIDAK! Demikian halnya juga dengan belajar piano.
Bedanya apa sih les piano dengan sekolah umum?
Bedanya
anak umur 8 tahun tidak bisa tiba-tiba berhenti dari sekolah umum begitu saja
karena dia malas mengerjakan PR dan tidak suka ulangan. Tapi ironisnya di
pelajaran piano bisa! Lho, kok bisa?! Belajar piano kerap kali dianggap sepele dan disamakan dengan les menggambar, renang, dan les pelajaran. "Ah, piano itu hanya hobi saja, lumayan buat ngisi waktu luangnya si buyung daripada bengong atau main game melulu!" Belum cukup sampai disana, banyak orang tua juga sering memperlakukan sekolah musik ibarat tempat penitipan anak dan guru musik seperti baby sitter.
Ketika anaknya “bukan
Mozart wanna be” atau malas latihan, orang tua bisa langsung mengambil
jalan pintas “berhenti, g’rak!” Hanya
karena musik ngga penting-penting amat! Banyak orang lupa,
bahwa tugas MENDISIPLINKAN ANAK adalah bukan tugas guru piano, melainkan
ORANG TUA! Lalu gimana ceritanya kalau sudah beli piano mahal-mahal? Ah, jual aja lagi atau bisa jadi dekor buat
naikkin gengsi, bro! (*tepok jidat)
2. Finansial - Keterbatasan ekonomi: resesi, orang tua kehilangan
pekerjaan, orang tua mempunyai anak yang banyak, prioritas kebutuhan primer
3. Sibuk dan tidak ada waktu: terlalu banyak les/kegiatan di luar
sekolah
4. Bosan dan tidak ada minat/motivasi
Murid yang tidak punya
keinginan belajar, tidak bersedia berlatih, dipaksa oleh orang tua (orang tua
yang ambisius) mungkin merupakan salah satu tantangan terbesar seorang guru
musik. Guru musik hanya bisa mendorong (encourage)
murid nya. Ketika murid tetap tidak memiliki motivasi atau keinginan belajar
sama sekali, tidak ada seorang pun di dunia yang bisa memaksa murid untuk tetap
meneruskan pelajaran musiknya. Walau guru musik itu bergelar profesor musik
sekalipun.
5. Pindah rumah, guru/sekolah musik
6. Tidak ada kemajuan: merasa tidak berbakat, tidak lulus ujian
7. Alasan lain: tidak ada dukungan dari orang tua, tidak punya
piano, stigma belajar musik hanya hobi, buang-buang uang, mahal, atau tidak
setuju/tidak puas dengan peraturan sekolah musik.
TIPS PENGHENTIAN PELAJARAN MUSIK
1. BE PROFESSIONAL!
Mulailah dengan baik, akhiri
dengan baik pula. Sedapat mungkin hindari konflik dan drama berkepanjangan. Jangan
terlalu cepat emosi dan mencari kambing hitam. Sikapilah hal ini dengan kepala
dingin. Lakukanlah penghentian pelajaran musik sesuai dengan PROSEDUR yang
telah disepakati.
Misalnya: tetap membayar uang les selama satu bulan penuh, walau anak hanya masuk ke kelas selama 3 kali pertemuan. Hal ini berlaku bagi pelajaran musik secara privat, maupun di sekolah musik. Karena setiap sekolah musik mempunyai aturan main yang berlaku. Prosedur penghentian pelajaran musik ini hanya bisa terlaksana, apabila dari pihak murid maupun guru memberikan PEMBERITAHUAN satu (1) bulan sebelumnya. Ironisnya di Indonesia hal ini sangat sulit dilakukan, karena musik masih dianggap sebagai sebuah kursus keterampilan untuk bersenang-senang. Sehingga orang bisa seenaknya menyatakan berhenti dimana saja dan kapan saja.
Misalnya: tetap membayar uang les selama satu bulan penuh, walau anak hanya masuk ke kelas selama 3 kali pertemuan. Hal ini berlaku bagi pelajaran musik secara privat, maupun di sekolah musik. Karena setiap sekolah musik mempunyai aturan main yang berlaku. Prosedur penghentian pelajaran musik ini hanya bisa terlaksana, apabila dari pihak murid maupun guru memberikan PEMBERITAHUAN satu (1) bulan sebelumnya. Ironisnya di Indonesia hal ini sangat sulit dilakukan, karena musik masih dianggap sebagai sebuah kursus keterampilan untuk bersenang-senang. Sehingga orang bisa seenaknya menyatakan berhenti dimana saja dan kapan saja.
Tentunya guru harus melewati
jalur FORMAL dengan menulis SURAT RESIGN kepada pimpinan sekolah musik ybs.,
karena sifatnya lebih kepada hubungan kerja. Sedangkan untuk murid, ada baiknya
orang tua menulis surat permohonan kepada pihak sekolah musik atau ada
formalitas secara LISAN (NON-FORMAL) berupa DIALOG dengan pihak sekolah sebagai
itikad baik orang tua terhadap sekolah musik tsb. Murid/orang tua dan guru yang
mempunyai etika, biasanya akan berpamitan pada pelajaran musik terakhirnya.
Sayangnya hidup tidak selalu
berjalan mulus. Problem mulai bermunculan, ketika salah satu pihak merusak
kesepakatan secara sepihak. Misalnya: orang tua memutuskan secara mendadak
bahwa anaknya akan berhenti les, setelah anak masuk satu kali ke kelas pada
awal bulan dan tidak ingin membayar penuh dengan berbagai alasan. Atau ketika
anaknya tidak masuk karena ada ujian di sekolah, orang tua meminta sekolah
musik untuk melakukan penggantian. Sedangkan penggantian hanya bisa dilakukan,
apabila anak atau guru musik sakit misalnya. Atau bahkan yang paling parah
tidak masuk ke kelas lagi tanpa pemberitahuan apapun, dihubungi pun tidak bisa
(last-minute quitter). Ketika hal-hal
demikan terjadi, just move on!
2. KOMUNIKASI TRANSPARAN
Terkadang kasus murid berhenti
merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Itu merupakan risiko dalam profesi
yang digeluti oleh para guru musik. Apabila murid berhenti karena alasan pindah
rumah dan ekonomi (natural cause),
tentunya tidak ada hal yang bisa dilakukan. Namun ketika hal-hal lain mengancam
penghentian sebuah kelas musik, maka sudah saatnya dilakukan dialog. Tentunya
untuk kota besar seperti Jakarta, hal ini tidak mudah dilakukan – mengingatnya
padatnya jam kerja, macet, dan jarak yang harus ditempuh. Tetapi itulah harga yang harus dibayar. Setidaknya
kita sudah melakukan upaya persuasif dengan dialog, yang mana adalah bagian
yang tidak terpisahkan dari pendidikan musik itu sendiri.
3. HINDARI KONFLIK & MENJALIN HUBUNGAN YANG BAIK
Sedapat mungkin hindari konflik dan drama berkepanjangan.
Apabila situasi memanas, sikapilah dengan bijaksana dan kepala dingin. Jangan
lekas terpancing dan emosi, apalagi mencari kambing hitam. Apabila Anda
mengalami kesulitan dalam berdialog, carilah mediator yang netral, seseorang
dari pihak sekolah yang bisa dipercaya. Apabila setelah berdialog, orang tua
tetap menghendaki anaknya berhenti belajar, relakan saja, dan tidak usah
terlalu diambil hati. Setidaknya dari pihak guru atau sekolah telah
mengusahakan yang terbaik. Setelah penghentian kelas musik dengan guru tsb, apabila
memungkinkan usahakan tetap menjalin tali silahturahmi yang baik. Hidup tidak
hanya ada di dalam ruang kelas saja, bukan?
4. MENGAMBIL HIKMAHNYA
Pengalaman adalah guru yang
terbaik. Ketika suatu proses pembelajaran tidak berjalan sebagaimana mestinya,
ada baiknya semua pihak mengintrospeksi
diri – baik itu murid, orang tua, dan juga guru. Di dalam kelas bukan hanya
murid yang belajar, tetapi guru pun juga belajar. Seorang guru yang baik tidak
terjadi dalam satu malam saja, semuanya membutuhkan proses belajar dan harus
tahan uji. Oleh karena itu ada baiknya seorang guru senantiasa meng-upgrade
kemampuannya dalam mengajar – dengan membaca, mengikuti masterclass, seminar,
atau pelatihan, dan juga semakin mawas diri.
THE MISSING LINK
Tentunya kasus murid berhenti
bukan perkara yang bisa dianggap enteng. Namun hal ini juga bukan merupakan
tanggung jawab guru sepenuhnya. Jadi jangan berkecil hati dan lantas berpikiran
negatif, bahwa kesalahan ada pada Anda sebagai guru musik yang tidak
kompeten – terutama apabila pada akhirnya Anda mengetahui, bahwa murid
belajar pada guru yang lain. Good bye,
ego! Terkadang the missing link terletak pada murid itu sendiri, dimana ia
tidak mempunyai keinginan untuk belajar sama sekali dan tidak mempunyai daya
juang untuk berlatih (personal issue). Sementara orang tua
juga sibuk, tidak sempat memperhatikan anak, dan gagal dalam mendisiplinkan anaknya. Faktornya banyak.
Yang bisa kita lakukan sebagai
guru musik adalah mendorong anak dan mendidiknya semampu kita, selama anak itu
menjadi murid kita. Kita tidak bisa menyenangkan semua orang. Unsatisfied customer dan bad people pasti akan selalu ada. Don’t let them bring you down! Jadi
kepala sekolah musik tidak bisa serta-merta menyalahkan guru musik atas
berhentinya seorang siswa. It’s not that
simple! Meskipun bagi pemilik sekolah musik, berhentinya seorang siswa
merupakan bencana alam! (bukan membela
guru musik, lho!) Guru musik juga
manusia dan tidak selamanya pelanggan adalah raja.
EFEK PENGHENTIAN PELAJARAN MUSIK
Banyak orang tua yang tidak
mengerti, bahwa berhenti les musik itu efeknya sangat besar bagi anak. Belajar
musik itu berbeda dengan les matematika dan pelajaran sekolah. Umumnya murid
yang berhenti di tengah jalan akan mengalami kesulitan untuk melanjutkan
kembali, bahkan seumur hidupnya mungkin tidak akan bermain musik lagi.
Faktornya banyak, mulai dari
tuntutan pelajaran sekolah yang tinggi menjelang kelulusan SLTA, padatnya
jadwal anak, dan motivasi/minat ketika anak beranjak dewasa berubah. Belum lagi
murid akan kembali ke titik minus, bahkan lebih parah dari sebelum ia belajar
musik – otot motorik yang tidak terkoordinasi, lupa cara membaca notasi balok,
dll. Pokoknya ibaratnya lebih impossible
daripada Mission Impossible 5 deh! Latihan
bertahun-tahun yang pernah dijalani selama ini akan menjadi sia-sia. Oleh
karena itu pelajaran musik anak hendaknya selalu berkesinambungan dan menjadi
bagian dari kehidupan anak yang tidak terpisahkan.
Orang tua dan guru hendaklah
menjadi partner sekerja demi perkembangan yang positif untuk anak (komunikasi
orang tua – guru – murid). Supaya setidaknya dengan cara persuasif, anak bisa
melalui masa kritisnya dan tetap bermain musik. Supaya ada alternatif solusi
lain yang bisa ditempuh, tanpa melewati jalur berhenti secara permanen. Misalnya
mempelajari genre Musik Pop/Jazz dan belajar instrumen musik baru. Supaya tidak
timbul penyesalan di kemudian hari.
“If you cherish the time with your student,
they will do as well and will hold onto
those fond memories for a long, long time.
Remember that!”