Tuesday, September 1, 2020

STRESS IN ZOOM | by: Jelia Megawati Heru | Staccato, September 2020

“STRESS IN ZOOM”
by: Jelia Megawati Heru
Staccato, September 2020

 

"AKU LELAH!"

Layar kaca Anda membeku. Ada gema yang aneh. Banyak kepala yang menatap Anda. Dan oh no, koneksinya putus-putus. Cilaka! Menjelaskan, meredefinisi, menjelaskan lagi dan lagi dengan kata-kata yang berbeda non-stop. Didorong oleh kondisi pandemi, guru bergulat dengan teknologi untuk mengajar jarak jauh secara online. 

 

Mereka dibanjiri dengan email, teks, video, gambar, panggilan dari orang tua dan siswa. Duduk di depan komputer berjam-jam sampai mata, bahu tegang dan pantat sakit. Hal ini terjadi berulang-ulang dan seperti tidak bisa dimatikan. Disorientasi hari dan jam. STRESS.

 

Pergeseran tiba-tiba ke Teach from Home (TfH), yang dibarengi dengan ketakutan tentang virus corona, berbaur menjadi semacam trauma yang dapat mengubah otak dari keterampilan berpikir tingkat tinggi ke mode bertahan hidup. Kombinasi stress, kelelahan, dan ketakutan ini dapat menyebabkan seseorang menutup diri, sulit berkonsentrasi, insomnia, dan menjadi parno (hypervigilance). Setelah beberapa kelas online, hal yang diinginkan hanyalah TIDUR…


 


DISCONNECTED IN ONLINE LESSON

Work from Home (WfH), seperti kebanyakan orang yang bekerja dari rumah selama COVID-19, para guru harus menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengajar lewat aplikasi meeting/sharing platform, seperti Zoom dan Google Meet



Walaupun mereka “ONLINE”, namun mereka merasa disconnected – terasing secara sosial. Mengapa? Karena sehebat apapun koneksi internet dan aplikasi itu, tidak dapat menggantikan IN-PERSON LESSON atau FACE-TO-FACE MEETING. Aspek kehidupan  dan peran sosial yang dulu terpisah – pekerjaan, teman, keluarga; kini terjadi di ruang yang sama. Anda terkurung di satu kamar dan satu-satunya cara untuk berinteraksi dengan mereka adalah lewat HP atau Zoom.


 


Mereka berusaha keras untuk “ADA” 150 persen bagi murid-muridnya, sambil mengelola perasaan stress dan kelelahan mereka sendiri. Diatas itu mereka juga berduka dan parno terhadap efek lock down, karantina, dan terisolasi akibat virus COVID-19. Konteks krisis ini tentunya juga memicu kecemasan yang berkontribusi terhadap stress mengajar online. Well, Anda tidak sendirian.



KANGEN KETEMU MURID

Tidak bertemu muka dengan muka dengan murid, mungkin adalah perasaan kehilangan yang paling berat bagi seorang guru. Karena guru mencintai pekerjaannya dan menikmati setiap detiknya – bertemu dengan murid, sharing, berkomunikasi, mendengarkan ceritanya, celotehnya, tawanya, ekspresi wajahnya yang lucu, adalah hal-hal yang dinanti-nantikan oleh seorang guru. Entah seberapa beratnya mengajar, moment-moment small milestone murid merupakan hal yang membuat guru semangat dan energized lagi. Element ini sayangnya sirna dalam online lesson.

 


MENGAPA MENGAJAR ONLINE LEBIH MELELAHKAN DARIPADA PERTEMUAN TATAP MUKA?

 

1. DELAY & KENDALA TEKNIS (KUALITAS AUDIO & PENGGUNAAN TEKNOLOGI)

Koneksi internet yang cepat dan mulus merupakan syarat utama dalam mengajar online. Apabila koneksi internet putus-putus/tidak lancar, maka kelas online tidak dapat terselenggara. Banyak kendala teknik, seperti: suara seperti robot, delay, kadang tidak terdengar.



Padahal belajar piano membutuhkan situasi yang tenang dan kualitas audio yang baik untuk mendengar. Situasi di rumah pun tidak selalu kondusif dan ideal untuk belajar. Lalu tidak semua guru “cakap” dalam hal penggunaan teknologi. Selain itu, ada fitur menghidupkan/mematikan mikrofon yang cukup annoying, koneksi yang tidak bersahabat, dan juga kebisingan latar belakang, seperti: suara orang yang berlarian/bayi menangis atau suara TV. For a piano lesson, it’s a disaster!

 

Sementara keheningan yang merupakan jeda ritme alami dalam sebuah percapakan dunia nyata, bisa menjadi masalah dalam sebuah percakapan online. Penundaan 1,5 detik saja bisa membuat lawan bicara tidak nyaman, gagal paham, dan membentuk pandangan negatif (sensitif), bahwa si pembicara ini kurang ramah atau tidak fokus. Padahal mungkin itu akibat koneksi internetnya yang membuat delay atau frozen screen. Mengajar dalam kondisi seperti ini membutuhkan effort yang lebih besar dan sangat melelahkan.



2. HILANGNYA SINYAL NON-VERBAL

Pertemuan tatap muka bukan hanya sekedar pertukaran pengetahuan belaka. Dalam pertemuan tatap muka, ada sebuah ritual. Ritual ini memberikan kenyamanan tersendiri,  berkontribusi dalam membina suatu hubungan, berkomunikasi, dan bersikap. Emosi mendahului dan mengikuti semua perilaku kita, dan memengaruhi pengambilan keputusan.

 

Dalam pertemuan tatap muka, perasaan dan sikap kita sebagian besar disampaikan oleh sinyal non-verbal, seperti: ekspresi wajah, nada suara, dan gesture tubuh. Isyarat/sinyal ini disampaikan secara otomatis, sambil mendengarkan lawan bicara pada saat yang sama. Sikap kita sangat bergantung pada sinyal ini untuk membuat penilaian emosional, seperti apakah suatu pernyataan dapat dipercaya? Apakah orang ini panik, sakit, bingung, marah, sedih, dll.

 

Namun pada pertemuan video, kita perlu bekerja lebih keras dan mengkonsumsi banyak energi untuk memperhatikan detail dan memproses sinyal ini. Apa yang dirasakan tubuh dan pikiran tidak sinkron, sehingga kita memiliki perasaan yang saling bertentangan. Menyimpulkan keadaan emosi seseorang berdasarkan sinyal informasi non-verbal itu sangat menguras energi dan membuat kita seringkali merasa frustrasi. Apalagi kalau pekerjaan kita bergantung kepada kondisi emosi seseorang dan koneksi sosial yang tinggi.


3. “DEMAM PANGGUNG”

Selain itu ada tekanan sosial seperti berada diatas panggung, ketika kita secara fisik berada di depan kamera. Ini menegangkan dan bisa memicu stress, karena tidak semua orang bisa berada dalam kondisi sadar “sedang diawasi” dan banyak orang melihat/memperhatikan gerak-gerik Anda atau melihat diri mereka sendiri di layar kamera.

 

Ada juga yang cemas dengan ruang kerjanya di rumah yang kecil akan “diintip”, apabila background zoom nya gagal. Dalam format grup yang besar, zoom bisa menjadi kurang personal, karena kekuatan sebagai individu (menjadi diri sendiri) berkurang.

 

Dalam keterbatasan ruang ini, guru harus melakukan upaya yang “lebih”, dan tanpa adanya banyak isyarat non-verbal, fokus intens pada kata-katanya dan kontak mata yang berkelanjutan ini sangat melelahkan.



Tentunya tidak semua online lesson via Zoom adalah malapetaka. Sisi positifnya tentu saja juga ada. Pertama, kita semua aman dari virus COVID-19, karena kita dirumah saja. Kedua, bagi orang yang introvert dan orang yang memiliki kecemasan sosial mungkin bisa menjadi alternatif yang lebih positif dan nyaman. Misalnya faktor fisik yang terkait dengan dominasi sosial, seperti tinggi badan. Namun pelajaran musik online tidak disarankan bagi anak berkebutuhan khusus, maupun anak berusia dini tanpa supervisi dari orang tua, karena mereka membutuhkan koneksi yang lebih dalam dan kuat dari hanya sekedar layar kaca yang berbicara.



BEBERAPA TIPS UNTUK MENGURANGI KELELAHAN DALAM ONLINE LESSON

Ada sejumlah langkah yang dapat kita ambil untuk mengurangi efek negatif dan kelelahan dari pertemuan video online, a.l.

 

1. WAKTU ISTIRAHAT/JEDA & MEMBATASI WAKTU ZOOM 

Luangkan waktu untuk cukup beristirahat bagi diri Anda sendiri. Prioritaskan kesehatan Anda. Beri waktu jeda/periode transisi dari kelas yang satu ke lainnya. Perbanyak minum air putih, rileks, stretching, ke kamar kecil, dan bernafas. Batasi jumlah meeting zoom dalam sehari dan katakan selamat tinggal pada waktunya. 

 

Jangan gila, kendalikan diri Anda. Anda tidak perlu berbicara dengan penuh semangat dan keras setiap saat. Anda bisa tetap positif dan menjelaskan dengan baik tanpa melakukan salto. Kita bukan robot dan full time teacher 24 jam. Kita perlu membuat batas yang memungkinkan kita menjadi diri kita sendiri lagi dan kemudian beralih identitas dari pribadi ke pekerjaan. Milikilah rutinitas yang teratur dan seimbang! Anda juga perlu makan, rileks, dan tidur. Menjaga mood Anda tetap positif, sehat, dan happy itu penting! Sayangi diri Anda sendiri #selflove.


 

2. GUNAKAN EMAIL, PONSEL & FITUR ZOOM

Gunakan email dan ponsel dalam berkomunikasi. Berikan Anda waktu untuk menjawab email/pesan. Anda tidak harus selalu langsung menjawab pesan dan mengerjakan semua hal sekaligus, untuk menghindari rasa stress dan frustrasi. Paling tidak email/pesan akan dibalas dalam waktu 1 x 24 jam. Tuliskan beberapa catatan setelah sebuah sesi selesai.

 

Gunakan fitur sharing screen untuk membahas dokumen yang sifatnya teknis, misalnya: ketika membahas music theory. Terkadang malah berkomunikasi lewat ponsel/WhatsApp lebih baik daripada zoom, karena kita hanya perlu berkonsentrasi pada satu suara saja. Hal ini merupakan pilihan yang lebih baik dan efisien, untuk menghindari kesalahpahaman dan informasi yang berlebihan.



3. ATUR POSISI KAMERA

Tempatkan layar kamera ke samping, bukan lurus ke depan, dapat membantu konsentrasi/fokus Anda. Hal ini membuat Anda seperti berada di kamar yang bersebelahan, untuk mengurangi kelelahan. Apabila dalam pertemuan grup, menghidupkan kamera sifatnya lebih opsional. Semoga bermanfaat! Stay safe and healty!


READ MORE: