"SISI KELAM CONCERT PIANIST"
Article Staccato, December 2014
by: Jelia Megawati Heru
“Waktunya bangun, sayang. Apakah kakimu
sudah menyentuh lantai?
Ayo, sudah waktunya untuk latihan piano
lagi,”
ujar
seorang Ibu kepada anak semata wayangnya, yang berumur enam tahun.
BERAWAL DARI SEBUAH MIMPI
Fenomena menjadi seorang concert
pianist yang bermain pada sebuah grand piano Steinway atau Fazioli di
bawah sorot lampu spotlight, memakai
tuxedo di gedung konser terkenal, dielu-elukan penonton dengan standing ovation dan teriakan “encore!” - mungkin menjadi hal yang diimpikan
banyak orang, bahkan bisa menjadi hal yang universal. Bahkan banyak tiger parents yang ambisius menginginkan
anaknya menjadi seorang concert pianist yang tenar, walau anaknya sebetulnya
tidak mumpuni atau bahkan belum tentu menginginkan hal yang sama. "I would give anything to do what she
does," ujar banyak orang dengan penuh rasa iri, setelah menonton
sebuah konser piano. Hmm, really? Benarkah
menjadi concert pianist adalah suatu hal yang membahagiakan?
SO, YOU WANT TO BE A CONCERT PIANIST?
Tidak dapat dipungkiri, di satu sisi concert pianist merupakan suatu profesi yang tidak lepas dari kehidupan elite yang glamour, hingar bingar, dan menjadi impian banyak orang. Entah karena faktor prestige, ingin dipuja-puja banyak orang, publisitas, ingin dikenal banyak orang/menjadi tenar, ingin dihargai oleh orang lain, atau memang betul-betul mencintai musik. Namun di sisi yang lain, concert pianist mempunyai sisi kelamnya sendiri. Sebuah dunia yang hanya dimengerti oleh segelintir orang yang mengalaminya sendiri ketika berada di “kursi panas” tsb. Andai Anda tahu, pengorbanan macam apa yang harus dialami oleh seorang concert pianist, mungkin Anda akan mempertimbangkan kembali niat Anda.
Tidak dapat dipungkiri, di satu sisi concert pianist merupakan suatu profesi yang tidak lepas dari kehidupan elite yang glamour, hingar bingar, dan menjadi impian banyak orang. Entah karena faktor prestige, ingin dipuja-puja banyak orang, publisitas, ingin dikenal banyak orang/menjadi tenar, ingin dihargai oleh orang lain, atau memang betul-betul mencintai musik. Namun di sisi yang lain, concert pianist mempunyai sisi kelamnya sendiri. Sebuah dunia yang hanya dimengerti oleh segelintir orang yang mengalaminya sendiri ketika berada di “kursi panas” tsb. Andai Anda tahu, pengorbanan macam apa yang harus dialami oleh seorang concert pianist, mungkin Anda akan mempertimbangkan kembali niat Anda.
HAL YANG DIBUTUHKAN CONCERT PIANIST
Sayangnya, berlatih dengan
tekun, memiliki teknik bermain yang solid, cantik, muda, terkenal, dan berbakat
saja tidaklah cukup. Setiap concert pianist harus bisa menjadi manager bagi
diri mereka sendiri (self-manager &
self-marketing,) walaupun mereka telah memiliki satu manager. Anda juga
harus mengerti, seseorang tidak akan mempekerjakan Anda, apabila mereka tidak
betul-betul mengenal Anda – entah sejenius apapun dan sebaik apapun permainan
Anda. Karena dalam bidang ini, Anda akan bekerja sama dengan orang yang Anda
hormati dan hargai. Sehingga Anda perlu menjaga nama baik, reputasi,
mendapatkan rekomendasi, dan menyelesaikan proyek demi proyek maupun konser
demi konser dengan sebaik mungkin.
Concert pianist tidak lain
halnya dengan profesi lain yang menuntut profesionalisme, kerja keras,
disiplin, konsentrasi, dan jam terbang yang tinggi. Tidak ada ruang bagi
keegoisan dan keangkuhan manusia disini. Apabila ada pun, Anda harus
berhati-hati agar permasalahan hidup Anda tetap berada di locker ruang ganti
dan tidak “nebeng” dalam permainan
musik Anda. Karena musik itu jujur. Musik Anda akan berbicara dengan
sendirinya, mewakili esensi jati diri Anda sampai ke dalam relung hati sanubari
pendengarnya, tanpa perlu penjelasan apapun. Entah itu keserakahan, ambisius,
egois, perfeksionis, benci, kesedihan, pahit getirnya hidup, kekosongan,
kesepian, hingga cinta. Oleh karena itu seorang pianis yang mempunyai jiwa bisnis
– dengan segala tipu dayanya, tidak akan pernah bisa menjadi pianis yang baik.
Bahkan mereka akan ketakutan setengah mati, kalau-kalau rahasianya terbongkar. Pertanyaannya
adalah, jika Anda mempunyai ruang dan waktu untuk berbicara lewat musik Anda,
apakah yang ingin Anda sampaikan? Seseorang yang banyak berbicara, belum tentu
mempunyai hal yang menarik untuk disampaikan, bukan? Belum tentu juga apa yang
dikatakan akan didengar orang, apalagi kalau “nggak mutu!” ibarat kolom gosip di majalah remaja.
“I’ll take character over reputation.
Your character is what you really are, while
your reputation is merely what others think you are.”
AJ. Perez
IMAGINE: BEING A CONCERT PIANIST
KEFRUSTASIAN & KESEPIAN
“Is never heavy, never gets repetitive, never boring. It’s always like
the most fascinating person you were ever with…” (Wolfgang Amadeus Mozart.) Mungkin quote tsb hanya
berlaku untuk Mozart. Pada kenyataannya
jalan hidup seorang concert pianist tidak selalu berakhir happy ending, seperti cerita Disney. Bahkan hanya segelintir orang
saja yang “beruntung” mencapai taraf seorang pianis tingkat dunia, bahagia
dengan profesi yang dipilihnya, hidup mapan, dan dikenang banyak orang. Hidup
seorang concert pianist, ibarat seorang atlet yang melibatkan latihan intensif
berjam-jam (7 hari dalam seminggu, @ 8 jam) dan pengulangan yang menyebabkan
kebosanan, kesepian, dan stress yang luar biasa. Di sisi yang lain, dia juga
dituntut untuk profesional dan perfeksionis dalam permainannya dalam sebuah
konser. Dengan 120 – 150 konser per tahun dan travelling yang sangat menyita waktu dari satu tempat ke tempat
yang lain (hotel, gedung pertunjukkan, gladiresik, airport, bus, taksi, jetlag, dll.) Oleh karena itu banyak
pianis yang hampir tidak memiliki waktu pribadi bagi dirinya sendiri dan orang
lain.
JAMES RHODES (UK)
James Rhodes, seorang pianis klasik asal Inggris pertama yang dikontrak oleh Warner Bros. Records, menceritakan penderitaan yang harus ia alami sebagai seorang pianis – tidak adanya penghasilan tetap (note: tidak semua concert pianist mampu mengajar, sekaligus mengkomposisi, memimpin orkes, atau menulis), berakhirnya pernikahannya sampai ia harus dirawat selama sembilan bulan di RS Jiwa, rasa kesepian yang menderanya di kamar hotel, operasi tulang belakang, ulasan reporter yang pedas, delay pesawat terbang, demam panggung, dan menahan lapar demi membiayai pelajaran musiknya di Verona, Italia. Kenyataan tsb. sangat jauh berbeda dari impian masa kecilnya, ketika ia berumur sepuluh tahun di tempat tidurnya yang nyaman, sambil mendengarkan musik dari Sergei Rachmaninoff yang dimainkan oleh Vladimir Horowitz, dan membayangkan ia akan berada di Carnegie Hall memainkan musik itu suatu hari nanti. Pada tulisan di blog nya, James mengutip perkataan dari Charles Bukowski, penulis Amerika "find what you love and let it kill you."
AND THE TRAINING BEGAN: KERJA KERAS &
DERITA TIADA AKHIR
Siapa pula yang tidak mengenal
nama pianis dunia asal Cina, Lang Lang?
Dalam artikel “Child Prodigy Pianist Lang Lang Turns 30 With Everything But The Girl,” Lang Lang menceritakan kisah sedihnya, dimana ia tidak memiliki
masa kecil yang bahagia. Ayahnya selalu memaksa dia berlatih dengan cara yang
tiran. Pada usia sembilan tahun, seorang guru di Cina menolak Lang Lang menjadi
muridnya, karena menurutnya Lang Lang tidak berbakat. Seketika itu juga, Lang
Lang menjadi sangat frustrasi dan ingin mematahkan asetnya yang paling
berharga, yaitu jari-jarinya. Ayahnya, memberinya sebungkus antibiotik dan
mendesaknya untuk menelan 30 tablet sekaligus. “Setelah ini, semua akan berakhir. Kamu akan mati.” “Ayah saya selalu mendukung saya. Namun,
ketika Anda menempatkan posisi sepertinya (ayahnya,) Anda dapat melewati batas.
Itu sudah lama – 21 tahun yang lalu. Sebagai seorang anak, terkadang saya
membenci ayah saya. Tetapi seiring berjalannya waktu, saya melupakan hal-hal
yang telah ia perbuat. Karena kami sebetulnya berbagi mimpi yang sama,”
kenang Lang Lang.
Ketika ia berusia
26 tahun, ia menerbitkan autobiografi berjudul “A Journey Of A Thousand Miles” yang menggambarkan adegan pendidikan musik di Cina sebagai tanpa ampun, penuh tekanan,
iri hati, dan korupsi. Mulai
dari masa kecilnya yang amat sulit hingga bermain di hadapan Presiden Barack Obama dan Queen Elisabeth II. Buku ini juga berbicara tentang ayahnya, Lang Guoren, satu-satunya orang yang
lebih terobsesi daripada Lang Lang sendiri untuk membuatnya
menjadi terkenal. Dalam waktu luangnya, Lang
Lang suka bermain dengan robot-robotan Transformer. Suatu hari, ketika ia menolak untuk berlatih piano, Lang Guoren meraih
mainan Transformer itu dan melemparkannya ke luar jendela. Ini hanya satu dari sekian
penderitaan dan harga yang harus dibayar oleh Lang Lang di masa kecilnya,
dimana tiada hari tanpa berlatih dan tekanan, caci maki, bahkan pukulan
ayahnya.
Lang Lang' Story: DO OR DIE (BBC UK)
“There’s the funny thing that Mozart does to
performers.
There’s an inner bubble that you don’t get from anybody else.
There’s an inner bubble that you don’t get from anybody else.
… Part of it is that Mozart never engages in
heart-on-sleeve; he never says,
‘Darling, let me tell you about the troubles I’ve had today.’ It’s always distilled.
He shows only a certain amount of the pain that’s there.
But it’s fundamentally that there’s so much play. …
The music is the most elegant, sophisticated… highest kind of playing.”
‘Darling, let me tell you about the troubles I’ve had today.’ It’s always distilled.
He shows only a certain amount of the pain that’s there.
But it’s fundamentally that there’s so much play. …
The music is the most elegant, sophisticated… highest kind of playing.”
-Leonard Slatkin, conductor of London
Philharmonic Orchestra
Ingin menjadi concert pianist?
Good for you! Tidak ada yang salah,
menjadi prodigy pada waktu umur 6 tahun. Tetapi jangan lupa tujuan musik adalah
untuk memanusiakan manusia. Jangan sampai anak hanya menjadi mesin/robot maupun
beruang sirkus. Karena ketika anak berumur 6 tahun dan memainkan Chopin
Piano Concerto dengan segala kepiawaian jari-jarinya, penonton pasti
akan bertepuk tangan. Namun, ketika anak berumur 21 tahun bisa memainkan Liszt
Hungarian Rhapsody dan masih menjadi “anak mama” yang tidak mengerti
apapun tentang kehidupan dan hanya tahu bermain piano saja - well, nobody cares. Ada ratusan, bahkan
ribuan pianis lulusan konservatori musik yang bisa memainkan karya Liszt. Dan
jangan lupa, waktu terus berjalan. Ada beberapa hal yang secara teknis berhasil
dengan sendirinya ketika kita masih muda. Namun, tidak demikian dengan usia
dewasa. Belum lagi pianis-pianis muda akan terus bermunculan. Di kala Anda
berumur 40 tahun, apakah orang akan tetap memperkerjakan Anda? Kita harus
berpikir ulang, hal apa yang sebetulnya lebih berharga dalam hidup.
Pada akhirnya, kita perlu
memaknai bahwa concert pianist adalah bukan manusia setengah dewa yang luput
dari badai kehidupan. Concert pianist juga bukanlah profesi yang bisa digeluti
oleh semua orang. Ini adalah profesi yang menuntut keberanian ibarat atlet
olahraga ekstrem, namun dalam ranah seni musik. Dengan segala tuntutan latihan
dan profesionalismenya yang sangat tinggi di atas panggung dan melibatkan bukan
hanya fisik, tapi juga mental dan seluruh hati, jiwa raga sang pianis. Sebuah
profesi yang bagi kebanyakan orang mustahil bisa ditanggung oleh satu orang
saja. Dalam orkestra umumnya pemain bermain bersama dalam sebuah grup, namun
seorang concert pianist akan selalu menjadi seorang solois dan menjadi sorotan.
Tidak semua orang sanggup menanggung beban, derita, kesepian, frustrasi, dan
rasa lelah itu. Dan semua itu untuk apa? Untuk mendapatkan tepuk tangan
penonton selama 10 detik, sorakan encore,
setetes air mata haru, atau perasaan bahagia saat berada di panggung dan
menikmati musik yang indah? It’s worth it? And what comes after that? Biar Anda sendiri yang menjawabnya.
I do
really hope, it’s worth it.
Because that’s called as the daily life of a
concert pianist
and hope you love every moment of it.