"GURU PIANO YANG KILLER"
by: Jelia Megawati Heru
Staccato Article, January 2015
"DASAR
IDIOT!"
teriak Nadia Boulanger kepada Astor Piazzolla muda (1935)
Adalah Nadia Boulanger, seorang music educator terbaik yang legendaris pada
abad ke-20, profesor di Paris Conservatory, conductor, dan komposer yang
berperan penting dalam menempatkan Astor Piazzolla, komposer dari Argentina - dalam takdir dan akar jiwa sejatinya,
yaitu tango dan bandoneon.
Nadia Boulanger
Hal yang menarik disini adalah
walau Nadia Boulanger adalah seorang akademisi, seorang professor di
konservatori terkemuka. Hal itu tidak mencegahnya mengucapkan kata-kata kasar,
seperti idiot maupun kata-kata makian lainnya. Namun demikian tidak dapat
dipungkiri, justru berkat jasa Nadia Boulanger lah justru Piazzolla menemukan
esensi dari musiknya.
Biasanya persepsi karakter killer melekat pada dosen universitas yang bisa menekan mahasiswa dengan nilai mata kuliahnya. Sedangkan killer pada guru piano lebih diidentikan dengan kritik yang pedas, hyper-critical, sarkasme, dan sikap arogan. Mengapa guru piano banyak yang ‘killer’ alias super galak? Dimana batasan guru dalam bersikap? Apa efeknya bagi karakter murid? Bagaimana kita harus menyikapinya?
Biasanya persepsi karakter killer melekat pada dosen universitas yang bisa menekan mahasiswa dengan nilai mata kuliahnya. Sedangkan killer pada guru piano lebih diidentikan dengan kritik yang pedas, hyper-critical, sarkasme, dan sikap arogan. Mengapa guru piano banyak yang ‘killer’ alias super galak? Dimana batasan guru dalam bersikap? Apa efeknya bagi karakter murid? Bagaimana kita harus menyikapinya?
“The problem with the pianist, is
that he’s too perfectionist!” Para pianis umumnya memiliki sifat
perfeksionis, percaya diri (malah terkadang over
pe-de), cenderung narsis, egois, dan arogan. Jangan salah, hal ini bisa
menjadi hal yang positif. Mengingat tuntutan bermain dengan tingkat kesulitan
yang tinggi, menjadi sorotan (highlight,)
dan tanpa kesalahan - dibutuhkan mental baja, ibarat atlet sport dan
kedisiplinan yang sangat tinggi. Namun ibarat dua sisi koin, sifat perfeksionis
ini bisa menjadi bumerang bagi seorang
pianis. Sifat perfeksionis ini juga membuat pianis tidak dapat mentolerir kesalahan dan tidak sabaran. Hal ini bertentangan dengan profesi guru piano, yang justru membutuhkan dedikasi dan kesabaran untuk mendidik murid.
Mengapa pianis cenderung
perfeksionis? Berbeda dengan Musik Pop dan Rock, Musik Klasik harus dimainkan
dengan PRESISI dan KETEPATAN (accuracy) yang tinggi sesuai dengan apa yang tertulis dalam
partitur, nada, ritmik, lengkap dengan detail dan pernak-pernik tanda dinamika,
tempo, dan artikulasi. Tradisi berlatih Musik Klasik di Eropa telah menjadi ATURAN BAKU yang telah berkembang
selama berabad-abad dan menghasilkan pianis kelas dunia, seperti: Evgeny Kissin, Arthur Rubinstein, Vladimir
Horowitz, Alfred Brendel, Krystian Zimerman, dan masih banyak lagi.
Disini
tidak ada ruang untuk berimprovisasi, seperti pada Musik Jazz. Belum lagi
tuntutan seorang concert pianist sebagai
soloist untuk piawai memainkan suatu permainan dengan kecepatan yang sangat
tinggi, tanpa kesalahan, di hadapan publik. Kalau saja Anda tahu, berapa banyak
latihan dan jam terbang yang harus dilewati untuk mencapai hal tsb. Tampaknya
kata “insane” dan “unhuman” tidak berlebihan untuk
mendeskripsikan hal tsb. Contohnya seperti Kissin waktu ia kecil, ia berlatih Hanon setiap hari dalam semua kunci
dengan kecepatan bagai mesin dengan the
clicking monster, alias metronome.
Sumber: Vogue
PERSEPSI GURU PIANO YANG ‘KILLER’
Sebetulnya apa sih definisi
guru piano yang killer? Tergantung!
Banyak faktornya dan relatif dilihat dari kacamata siapa. Orang suka salah
mengintepretasikan antara tegas, disiplin, galak, kejam, dan jahat. Menegur
murid yang malas latihan dan tidak mengerjakan PR dikatakan jahat. Ya aneh,
padahal itu sudah lazimnya bagian dari pekerjaan seorang guru. Memang masalah killer atau tidak, tentunya tergantung
dari cara penyampaian guru ke murid juga. Terkadang bukan kata-katanya yang
menyakitkan. Namun nada bicara yang naik atau body language (mimik, gesture) guru – yang sudah menjadi bawaan
dari guru tsb. Dilemanya di satu sisi, guru musik dituntut untuk memiliki sikap
tegas dan disiplin. Sementara yang dihadapi adalah murid yang kenakalannya di
luar batas kewajaran. Disini batasan antara tegas dan killer bisa menjadi
sangat rancu.
Yang jelas perilaku kekerasan dalam mengajar (KDM,
bukan KDRT), baik secara fisik dan
verbal sebaiknya dihindari. Karena tidak ada satu metode pun yang
mengajarkan untuk menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, apalagi
dengan kekerasan. Misalnya: memukul dengan penggaris, mencubit sampai biru, dan
memaki dengan kata-kata “dasar bodoh!” Secara verbal, bentuknya bisa berupa
kritik yang negatif, destruktif, hyper-critical,
sarkasme, opini subjektif yang arogan/menjurus, atau mungkin pertanyaan yang
tidak bisa dijawab murid – hanya untuk sekedar mengetes murid atau pamer (show off). Hal ini sangatlah tidak
mendidik dan tidak produktif.
Ironisnya, guru yang perlu
kita waspadai itu bukanlah guru yang galak, tapi guru yang mematikan motivasi belajar anak dan membuat anak berhenti, benci
musik, benci piano! Guru kategori ini bisa jadi tidak perlu
berteriak-teriak, dengan nada yang halus, bisa mengatakan hal yang menyakitkan
lewat mind games and power play. Sering
dijumpai guru piano dari Eropa akan mengatakan “You will never make it, you don’t have pianist fingers, you
are not a real musician!”
Tidak semua murid bisa menerima perkataan yang pedas ini. Ada murid yang terpukul, shock, dan mengalami
mental break down. Tapi disisi yang
lain, ada murid akan justru ketika mendengar perkataan pedas ini akan menjadi
lebih terpacu untuk bekerja lebih keras dan lebih baik lagi. Terkadang ini
bukan masalah benar atau salah, namun apakah guru bisa menemukan tombol yang
tepat?
Tidak ada penanganan yang baku bagi semua orang. Tergantung
karakter dan kebutuhan masing-masing anak. Tidak semua murid harus
dibentak dan diberi latihan jari ala Beyer
dan Hanon. Zaman sudah berubah,
banyak metode pengajaran musik yang lain selain metode diktator. Sedangkan anak
yang tidak latihan pun juga tidak bisa didiamkan saja. Pekerjaan rumah bagi
guru dan orang tua murid. Bukan hanya melimpahkan 100% ke guru piano saja! Bagaimana
cara memotivasinya, alih-alih membentaknya? Karena usaha Anda menjadi sia-sia,
kalau tidak ada efek apapun bagi murid ybs. Carilah SOLUSI yang lebih smart
dan metode belajar yang lebih efektif (personalized
teaching method)!
EFEK GURU PIANO YANG KILLER
Tidak semua anak bisa menerima
perlakuan yang keras, baik dalam tutur kata maupun sikap. Mengajar ibarat
chemistry antara murid dan guru. Walaupun anak pada akhirnya berhasil memainkan
lagu dengan sempurna, tanpa kesalahan. Pertanyaannya yang perlu diajukan adalah
apakah semua makian dan kekerasan itu sebanding dengan hal tsb dan tidak menyisakan
efek samping bagi perkembangan karakter sang anak?
Tindak kekerasan secara fisik
maupun verbal sebaiknya dihindari, karena bagi guru piano yang tidak mengenyam
pendidikan tentang mengajar musik dapat berakibat fatal. Bukannya anak semakin
termotivasi, anak bisa menjadi tersinggung, tidak antusias, tidak percaya diri, ngambek, malas, frustrasi/stress,
dan bahkan mogok latihan. Lalu
ujung-ujungnya tidak mau les piano lagi,
maupun mempelajari instrumen musik yang lainnya. Guru yang terkesan ringan tangan
dan galak menjadi salah satu alasan anak untuk membenci piano. Belum lagi anak akan menjadi takut salah, trauma, dan
membenci musik. Akhirnya kerja keras
bertahun-tahun, hilang dalam sekejap saja entah kemana. Betul-betul membuang
waktu. Hal ini sangat bertentangan dengan visi awal sebuah pelajaran instrumen
piano.
MENGAJAR ADALAH SENI
Mengajar adalah sebuah disiplin ilmu sekaligus seni. Faktor yang
mempengaruhi sebuah kegiatan belajar mengajar sangat banyak dan tidak ada satu
metode pengajaran yang cocok untuk semua kondisi. Karena dalam mengajar, yang
kita hadapi bukanlah benda mati seperti layaknya mesin atau robot. Kita
berhadapan dengan berbagai karakter
manusia yang KOMPLEKS. Jadi, jangan kaget kalau hasilnya tidak sesuai
dengan yang Anda inginkan. Anda bisa saja memukul anak Anda, dijemur,
dicaci-maki, dipukul, dan dibimbing oleh guru piano yang spesialis kompetisi.
Tetapi metode ini tetap tidak berhasil membuat anak menjadi bisa bermain piano.
Jadi tidak ada resep rahasia khusus dan tidak ada jalan pintasnya. Rumusnya selalu sama, yaitu: kesabaran,
komunikasi, cinta seni, inspirasi, dedikasi, disiplin, dan kerja keras.
Musik bisa mengaktifkan otak
kanan dan otak kiri? Yes. Musik bisa
membuat anak bodoh menjadi jenius? Hmm…
Jangan pernah lupa tujuan dari seni adalah memanusiakan
manusia, bukan mencetak robot jenius. Apalah gunanya pintar, tapi “kosong,” tidak
tahu tata karma, dan mental tempe? Anak
bukanlah robot atau sapi. Guru piano
juga bukan aplikasi computer (Apps)! Perlakukan anak seperti manusia dan hargai
pribadi anak! Karena motivasi yang terbesar adalah ketika keinginan bermain
musik dan belajar piano datang dari dirinya sendiri. “MUSIC first, STUDENT second,
PIANO third!”
MENYIKAPI GURU PIANO YANG ‘KILLER’
Di Indonesia, guru piano yang
killer umumnya lebih disukai oleh orang tua murid. Karena menurut mereka, anak
mereka akan lebih terpacu untuk berlatih alias tidak malas latihan, apabila
mereka menerima teguran dan bentakan dari guru pianonya. Untuk beberapa orang tua, apakah murid senang atau menyukai gurunya tidak penting, selama muridnya berprestasi. Namun, kita harus cermat-cermat
dalam menyikapi perilaku guru piano yang “terlalu galak,” karena sikap terlalu galak tidak selalu menyelesaikan semua persoalan. Tidak semua
guru piano mengenyam pendidikan musik dalam bidang pedagogy. Guru-guru piano di
Indonesia bukanlah Nadia Boulanger.
Umumnya mereka hanya pernah mendapatkan kursus piano dan mendapatkan sertifikat
lewat ujian praktek piano. Lalu 'berpetualang' dengan bekal apa yang mereka tahu dan dengan sistem "trial and error". Sedangkan bermain musik dan mengajar adalah dua ranah yang
sangat berbeda.
Apabila anak Anda mengeluh
karena guru pianonya galak atau anak mandeg dalam pelajaran musiknya, jangan
buru-buru menyalahkan gurunya. Dengan berganti guru, kemungkinan masalah tidak
menjadi selesai. Ibarat dokter, Anda harus melihat kasus per kasus. Dimana
sakitnya, kenapa bisa sakit, apa gejalanya? Bukan semua jenis penyakit, dihajar
dengan obat antibiotik. Mengajar pun demikian. Banyak faktornya dan sangat
kompleks. Situasi bisa menjadi sangat sensitif dan lebay bagi beberapa orang tua, apabila menyangkut anaknya. Apalagi
dalam menangani anak semata wayang yang manja dan tidak pernah dimarahi oleh
orang tua seumur hidupnya. KOMUNIKASI adalah salah satu kuncinya. Oleh karena
itu sebagai orang tua, ada baiknya Anda selalu berpartisipasi AKTIF dalam pendidikan musik anak Anda. Caranya?
1. MENDENGARKAN
& MEMAHAMI KONDISI ANAK
Pantaulah
perkembangan anak Anda! Pernahkah Anda mendengar keluh-kesahnya, apakah anak
suka piano, anak suka memainkan lagu apa, dan apakah anak mengalami kesulitan
dalam berlatih? Apa sebetulnya alasan anak tidak latihan? Apakah karena tidak
ada waktu, kebanyakan les, tidak mengerti apa yang harus dilatih? Komunikasi
semacam ini terkadang hanya membutuhkan waktu lima menit. Jika orang tua tidak
mengetahui apapun tentang anaknya, mulai sekarang ada baiknya Anda belajar MENDENGARKAN!
2. KOMUNIKASI DENGAN GURU DAN MENCARI SOLUSI
Apabila ada
perilaku guru yang tidak berkenan, ada baiknya Anda selesaikan secara internal,
dengan membicarakan hal ini empat mata dengan guru ybs. Jangan membahasnya dengan
orang tua murid yang lain, menjelek-jelekkan guru ybs (black campaign,) atau berhenti les. Untuk apa? Toh, anak tidak akan menjadi lebih baik. Daripada mencari kambing
hitam, lebih baik carilah SOLUSI terbaik demi tumbuh kembang sang anak! Karena
situasi kondusif dalam belajar mengajar sangat berpengaruh terhadap kemajuan
anak. Apapun permasalahannya, hendaknya pelajaran musik anak jangan sampai
terhenti. Apabila komunikasi dengan guru mengalami titik buntu, bicarakanlah
hal ini dengan kepala sekolah musik ybs.
3. MENCARI
GURU YANG PROFESIONAL & BERPENGALAMAN
Carilah guru
yang profesional dengan latar belakang pendidikan musik khusus mengajar (music pedagogy) dan dengan jam terbang yang tinggi, serta reputasi yang
baik. Guru yang profesional akan memberikan instruksi yang relevan, jelas
dipahami, detail, serta singkat padat bagi murid. Selain itu guru yang
profesional tidak akan mencampur-adukkan urusan pribadinya dengan urusan
pekerjaan. Sehingga opininya selalu positif, objektif, dan pertanyaan yang
diajukan sifatnya mengkonfirmasi kondisi murid dan pengetahuan musik,
menstimulasi ingatan mengenai topik/informasi yang pernah dipelajari, serta
mampu mendiagnosa problem yang dihadapi murid. Bukan sekedar kritik betapa
tidak kompetennya murid.
4. MENCARI
INFORMASI MENGENAI FILOSOFI & METODE MENGAJAR MUSIK
Sebagai orang
tua, Anda harus lebih kritis dan bijaksana terhadap semua informasi yang
beredar. Jangan lantas mendengar kata internasional atau bagus, publik latah
menyerap informasi tanpa disaring terlebih dahulu. Bacalah buku atau carilah
informasi mengenai filosofi, metode mengajar musik dari berbagai sumber.
Observasilah dan lakukan survei metode pengajaran pada beberapa sekolah musik.
Mungkin bisa dengan meminta ijin masuk ke kelas, membaca brosur, dan saling
bertukar pikiran dengan orang tua murid lain.
5. MENJADI PARTNER LATIHAN ANAK DI RUMAH & MENDAMPINGI ANAK
Alangkah
baiknya, apabila orang tua juga bisa menjadi partner latihan anak di rumah dan
senantiasa mendampingi anak dalam les piano nya, maupun hadir dalam resital
piano. Peranan positif orang tua dalam mendukung perkembangan musikal anaknya,
akan tampak dalam kecintaan anak terhadap musik. Caranya? Bisa 1001 macam –
mulai dari nonton konser bersama, melihat youtube
musik bersama, mendengarkan musik, atau kalau orang tua bisa bermain musik atau
menyanyi bisa bermain musik bersama dengan sang anak. Just be creative! Tidak harus melulu Musik Klasik, tapi bisa musik
dari genre manapun.