Suatu hari, dalam keheningan pengasingan, Tan Malaka, pemikir dan sastrawan terkemuka, pengarang buku MADILOG menulis: “Kalau tidak ada pena, aku akan pakai arang. Kalau tidak ada kertas, aku akan menulis di dinding. Tapi aku akan terus menulis.”
Apa yang di nas kan oleh Tan Malaka seakan menjadi Credo bagi seorang penulis, apapun bidang yang akan menjadi obyek tulisannya. Menulis adalah mempertahankan keberadaan diri secara positif dengan membagikan buah pikir pada semesta. Hasil akhirnya tidak penting, lebih utama adalah keberadaan kita sebagai manusia yang ada, berpikir, dan menyatakan pikirannya. Itulah salah satu semburat inspirasi yang mendasari saya, Jelia Megawati Heru dan Michael Gunadi Widjaja, untuk menulis.
Kami berdua mengawali karir menulis di KOMPASIANA, sebuah Citizen Journalistic Forum yang didirikan koran terkemuka Harian KOMPAS. Saya mengkhususkan diri pada hal pendidikan musik. Sedangkan Michael, dia lebih suka memasukkan musik dalam relung hiruk pikuk sosial dan politik. Kedalaman pena dan tinta ketulusan, rupanya membuat kami berdua tak henti hingga menebar gagasan. Lebih dari itu. Ada jalinan dan rajutan yang menganyam haribaan atas nama cinta.
Dari Kompasiana, saya menginginkan dokumentasi tulisan yang lebih pribadi, lebih personal dan lebih dapat menjangkau para siswa piano saya dalam referensi bacaan tentang pendidikan musik, khususnya musik piano. Maka saya memutuskan untuk membuat Personal Blog yang saya beri nama JELIA’S MUSIC PLAYGROUND. Bahwa bersama saya, Jelia, musik adalah taman bermain. Taman bermain cita rasa, apresiasi dan pemahaman estetika musik. Bukan taman bermain yang main main. Sedangkan Michael... ia masih asyik berbusa busa membuat tulisan tentang fantasi-fantasi yang ditabukan. Meski akhirnya ia pun mengikuti jejak saya membuat blog yang ia namai MUSICALICIOUS SPECTRA. Semburat spectrum musik yang rona penuh warna dan delicious.
Kami berdua sepakat, blog kami berbahasa Indonesia. Meski terus terang, kami berdua fasih berbahasa asing. Tujuan kami adalah membantu para mahasiswa musik, siswa sekolah menengah musik, para guru musik, dan pencinta musik untuk mendapatkan referensi literasi musik berbahasa Indonesia yang hingga sekarang pun masih terbilang sangat langka.
Tiga belas tahun lalu, kemudian seorang EDDY F. SUTANTO menawari saya untuk menjadi kontributor majalah STACCATO. Majalah musik seni satu-satunya di Indonesia. Saya menyanggupinya. Bukan untuk lebih tenar, melainkan agar referensi pendidikan musik mendapat publik yang lebih luas di tanah air. Saya pun menawari Michael untuk ikut bergabung. Dia menyanggupi, dan sejak 13 tahun lalu itulah segenap pembaca STACCATO di seluruh Indonesia mendapat sajian pairing. Saya dan Michael. Michael sering melempar joke. Dia katakan: “Tulisan Schatzi (begitu dia memanggil saya) itu bikin orang terang, sementara tulisanku bikin orang bingung.” Tapi itulah pairing sejati. Dua sisi. Antara telaah dan analisa yang dalam batas tertentu ranah musik, bisa menjadi nisbi keberadaannya.
Kiprah 13 tahun bukan waktu sebentar. Saat pertama, tantangannya adalah: bagaimana menjadikan musik yang adalah media auditif ditransformasi berupa artikel dalam bentuk tulisan. Jujur, ini tidak gampang. Dan menuntut pengetahuan musik yang sangat dalam dan teknik menulis yang juga harus mastery. Saya, terus terang mengiring pertumbuhan dan perkembangan STACCATO. Menjadi bagian dari nilai plus majalah Staccato. Bagaimana musik bisa menjadi bahan Jurnalistik. Bagaimana musik dapat disajikan sebagai telaah keilmuan yang sangat ilmiah. Dan bagaimana musik bisa menjadi bagian tak terpisahkan dalam realitas sosial dan bahkan carut marut politik. Tentu hambatan dan rintangan sangat banyak. Mulai dikejar Deadline penerbitan. Kesalan typo yang mesti diulang-ulang. Layout yang kadang kurang memuaskan. Hingga kesalah pahaman yang sifatnya administratif. Kesemuanya itu kami lalui. Dengan besar hati dan kepala tegak. Kenapa ? Karena KAMI CINTA MUSIK DAN KAMI CINTA MENULIS.
Akhirnya, 21 Agustus 2025, di SWISSBELL HOTEL CAWANG JAKARTA, kami berdua mendapat plakat dan sertifikat apresiasi untuk Life Time Writing Achievement dari Staccato. Diberikan langsung oleh Pak Eddy Sutanto selaku Pemimpin perusahaan dan Pemimpin Redaksi, dalam acara Konser Bersama Nasional "Indonesia Young Musician Performance 2025" Region Jakarta. Bagi kami berdua penghargaan ini kami letakkan dalam makna. bahwa napak tilas dan kiprah kami menjadi kontributor mendapat apresiasi. Bahwa dalam batas tertentu, menulis tentang musik diapresiasi sebagai sumbangsih nyata bagi perkembangan musik di tanah air.
Sebagaimana quotes Tan Malaka pada awal tulisan, saya dan Michael akan tetap menulis apapun keadaannya. Dan ini sekaligus pesan bagi generasi mendatang sebagaimana guru saya di Konservatori Jerman berpesan. Menulis adalah aktualisasi pemikiran, pemahaman musikalitas, dan tentu saja semburat inspirasi bagi banyak orang. Ada kalimat bijak yang mengatakan: “Saat kata kehilangan kemampuan mengungkap makna, disitu musik mulai berbicara.” Namun... keabadian jati diri berupa relung pemikiran terlalu absurd jika hanya direpresentasikan oleh musik. Dan menulis adalah jawabannya.