"7 PROBLEM YANG HANYA
DIMENGERTI GURU PIANO"
DIMENGERTI GURU PIANO"
by: Jelia Megawati Heru
Staccato, March 2016
Banyak orang yang menganggap
guru piano adalah profesi rendahan: “Ah,
cuma guru piano!” Hanya karena tidak menyangkut hidup dan mati nya orang,
bukan berarti guru pantas dilihat sebelah mata, tidak dihormati, dan nggak penting-penting amat. “Kalau
mau dihormati dan dianggap penting, jangan jadi guru dong! Jadilah dokter,
pengacara, tokoh masyarakat, atau presiden!,” celetuk salah satu orang tua
murid. “Hmm, really? Yang guru musik,
suara nya mana?” Dalam rangka memperingati profesi seorang guru, maka
artikel kali ini akan mengulas permasalahan yang paling sering dihadapi oleh
seorang guru piano dalam kesehariannya mengajar.
1. ORANG TUA SELALU MENGANGGAP ANAKNYA NO. 1
Setiap orang tua pastinya
selalu ingin memberikan yang terbaik bagi anaknya. Namun sayangnya orang tua sering
kebablasan – terlampau sering
dibutakan oleh ego dan obsesinya sendiri. Mereka bersikeras, bahwa anak mereka
berbakat, seorang “music prodigy” –
lebih baik daripada anak-anak yang lain. Pokoknya anak mereka adalah yang
terbaik dan harus diprioritaskan dan diperlakukan seperti telur emas. Anak
diyakinkan, bahwa ia adalah seorang superior, paling benar, tidak pernah salah,
dan anak lain selalu lebih rendah darinya. ("Raising Music Prodigy" - Staccato December 2015)
Kesannya seperti sepele, namun
pola pikir seperti ini akan merusak pribadi anak. Dampaknya apa? Mulai dari congkak,
berprasangka buruk terhadap orang lain, tidak bisa menerima kritik, tidak
sabaran, selalu mencari pembenaran dan pembelaan diri, tidak perlu bekerja
keras, hingga pendendam – take your pick!
Apa yang bisa diajarkan, apabila murid tidak percaya terhadap gurunya? Hal
ini membuat guru terlihat seperti musuh, sosok psikopat yang suka mengada-ada,
dan mencari-cari kesalahan orang lain. Anak tidak akan pernah belajar untuk
menghargai orang lain. Repotnya orang tua nya pun mendukung hal tsb.
Pada kasus ini sebetulnya
orang tuanya lah yang harus dididik. Namun pada banyak kasus, guru akhirnya
lebih memilih untuk diam. Apabila aksi protes guru terdengar sampai pemilik
sekolah musik, salah-salah malah guru yang dipecat. Karena dianggap turut
campur, lancang menggurui orang tua murid dalam mengajar anaknya. Pelanggan
adalah raja. Kalau murid sampai keluar, maka pemilik sekolah musik akan mengalami
kerugian.
2. AUMAN TIGER PARENTS
Hari-hari seorang guru piano
biasanya akan berubah menjadi mimpi buruk, ketika mereka harus berhadapan
dengan tiger parents. Tuntutan mereka
tinggi nya tidak main-main, bahkan tidak masuk akal. Misalnya: lulus ujian
musik internasional grade 8 di umur 10 tahun. “Kalau si X bisa, mengapa anak saya nggak bisa?” Selalu
membandingkan anaknya dengan orang lain. Repotnya, mereka dapat menghalalkan
segala cara untuk mencapai tujuan mereka – termasuk hukuman secara verbal dan
fisik.
Umumnya tiger parents adalah tipe orang tua yang sangat otoriter dan merasa
lebih pintar (baca: sok tahu)
daripada guru piano itu sendiri. Mereka biasanya juga bukan tipe orang yang
sabar menanti dan menghargai proses. “Just
get it done, man! That’s your job! I pay for it!” Mereka tidak akan
mentolerir hasil yang tidak sesuai dengan standard mereka. Bersiaplah untuk
menuai protes dan kritik pedas, bahwa Anda adalah guru yang tidak becus, tidak
kompeten, dan nggak mutu! ("Ketika Tiger Parents Mengaum" - Staccato, Novemver 2015)
3. MURID ABAD KE-21 YANG HYPER-CRITICAL
Selamat datang di abad ke-21,
dimana dunia sudah berubah 180° dibandingkan dunia 10 tahun yang lalu. Anda
akan merindukan, dimana masalah terbesar seorang guru piano adalah murid malas
dan tidak latihan. Karena murid zaman sekarang tidak akan menerima perkataan
gurunya bulat-bulat. Mengapa? Karena zaman pembodohan sudah usai dan sekarang
adalah generasi teknologi millennium. Untuk itu guru musik harus terus meng-upgrade dirinya.("Tantangan Mengajar Musik di Abad ke-21 - Staccato, September 2014)
4. PERILAKU MURID YANG BURUK
Setiap guru piano di abad ke-21
sebaiknya memiliki mental baja dan tegas berani berkata “TIDAK!”. Karena
S-A-B-A-R dan baik hati saja tidak cukup. Hanya karena berprofesi sebagai guru
musik, bukan berarti anak akan menghormati gurunya. Tidak semua murid bersedia
duduk manis dan selalu mengerjakan PR nya. Alih-alih Anda menjadi gurunya,
malah Anda yang akan menjadi korban bullying
di kelas piano Anda sendiri. Apabila hal ini terjadi, maka jangan segan-segan
untuk menegur murid dan melakukan komunikasi dengan orang tua. Apabila Anda mengalami
kesulitan dalam menangani perilaku buruk murid, laporkan ke pihak sekolah musik.
Yang jelas perilaku buruk, baik secara verbal maupun non-verbal di dalam kelas
tidak dapat ditolerir dan tidak bisa didiamkan begitu saja. ("Menghadapi Perlaku Buruk Murid Piano" - Staccato, Februari 2015)
5. TIDAK ADANYA PENGHARGAAN
Penghargaan untuk guru piano?
Lupakan saja! Alih-alih dihargai, guru piano hanya dimanfaatkan dan diperalat
saja sebagai mesin penghasil uang bagi pebisnis. Bukan haus pujian dan
penghargaan, lho! Namun profesi guru
piano bukan hanya sekedar makan gaji buta dan duduk di dalam kelas. Lalu
tiba-tiba anak menjadi jenius bermain piano? Magic, kali?! Profesi ini
menuntut seseorang untuk bekerja di sekolah dan bahkan di luar sekolah jam
sekolah. Memeriksa pekerjaan murid, menyusun lesson plan, menulis laporan perkembangan siswa, persiapan konser
(yang sebagian besar pada hari Minggu), ujian, pelajaran tambahan,
berkomunikasi dengan orang tua murid, dll. Guru piano harus menguras lebih dari
sekedar tenaga dan waktu.
Sebagai profesi yang dituntut
hingga level mencerdaskan anak bangsa, menanamkan nilai-nilai dan karakter yang
menjadi bekalnya di kemudian hari dalam masyarakat – agaknya penghargaannya
tidak sebanding dengan usaha yang dilakukan. Penghargaan yang dimaksud
sebetulnya bukan dalam bentuk materi, namun perlakuan dan pandangan masyarakat
terhadap seorang guru. Apalagi musik itu mungkin dianggap sebagai bidang yang
paling tidak penting dan yang bisa dihilangkan dari kurikulum sekolah umum.
Karena tidak adanya
penghargaan inilah, banyak guru musik yang memilih untuk tidak berkembang,
berkontribusi, apalagi berinovasi. Tolok ukurnya adalah UANG. Pelaku bisnis
dalam bidang pendidikan musik belum tentu peduli dengan pendidikan musik. Yang
mereka pedulikan adalah bagaimana caranya agar sekolah musiknya tidak gulung
tikar? Untuk apa capek-capek membagi ilmu, sok-sok mendidik jadi pahlawan
kesiangan di hari begini? Toh gaji
tetap dan tidak akan bertambah. Disinilah prinsip dan idealisme seorang guru
diuji.
6. ANGGAPAN BAHWA SENI ITU SUBYEKTIF
Sehebat apapun anak memainkan
piano, seberapa banyak piala, konser, dan sertifikat yang diraih, sampai
kapanpun musik hanya akan menjadi pengisi waktu luang saja. Walau ujian musik
dan kompetisi musik sudah tidak asing lagi di Indonesia, masih saja banyak
kalangan yang apatis terhadap pendidikan musik. Maklum musik hanya dianggap sebagai
pengisi waktu luang saja atau bahkan dianggap menghambur-hamburkan uang. Sehebat-hebatnya
pemenang Chopin International Piano Competition,
itu bukanlah seperti nobel prize atau
masuk di forbes. Musik sangat sulit
untuk dinilai dan tidak ada tolok ukurnya – tergantung dari sudut pandang mana
kita melihat (subjektif). Darimana kita tahu, bahwa Beethoven lebih baik dari
Mozart? Apakah komposer yang karyanya paling banyak adalah komposer yang hebat?
7. MUSIK KLASIK SUDAH MATI
Siapa yang kuasa menahan derasnya
arus modernisme? Tidak ada! Dunia pendidikan musik juga adalah salah satunya.
Musik seharusnya bisa menyuarakan emosi terdalam manusia. Apakah Musik Klasik
masih relevan diajarkan di tengah kuatnya perubahan teknologi?
Untuk apa
repot-repot belajar piano? Hari begini masih belajar Beyer, Hanon, Bach’s Minuet in G dan Beethoven’s
Sonata? Sementara Musik Klasik harus bersaing dengan musik berirama dubstep dan lagu dari Ariana Grande. Dibandingkan dengan lagu kekinian, lagu Musik Klasik masuk dalam kategori sangat membosankan - ibarat museum.
Untuk apa
meluangkan waktu nonton konser Musik Klasik yang mahal? Sudah nggak zaman lagi, kuno, dan basi! Toh dengan youtube kita
sudah bisa menikmati Mozart’s Symphony
No. 40 yang dibawakan oleh Berliner
Philharmonie. Gratis lagi.
AKANKAH ASA ITU PUPUS?
Mungkin kebanyakan orang yang
membaca paparan di atas akan tersentak dan tidak ingin menjadi guru lagi.
Faktanya paparan tsb bukan hanya sekedar omong kosong belaka. This is real, man! Ini permasalahan yang
dihadapi kita sekarang, ada di depan mata kita. Permasalahan yang pelik,
menyisakan segudang pertanyaan yang tidak terjawab.
Kalau Anda pikir menjadi guru mudah?
Think again! Nyatanya tidak semua
orang bisa menjadi seorang guru dan berani menjadi seorang guru. Guru dihadapkan
pada anggapan dan kondisi dunia yang sudah berubah mengikuti arus zaman. Kerja
bak pekerja sosial, PR segudang, dan penghargaan nol besar. Kalau sudah begini,
apakah guru cukup bekerja berdasarkan deskripsi pekerjaan saja atau sudah
saatnya kita alih profesi?
Tidak ada seorang pun yang
bisa memaksa seorang murid untuk menerima pendidikan. Karena murid jelas
bukanlah barang dagangan maupun robot. Dan guru bukanlah TUHAN, guru hanyalah
manusia biasa. Terlepas dari betapa peliknya masalah dan besarnya tantangan
yang akan dihadapi oleh seorang guru, buat saya sosok seorang guru merupakan
pelita bagi murid-muridnya, sumber inspirasi, panutan bagi orang-orang di
sekitarnya. Yang tidak mengenal kata lelah, tidak mengejar keuntungan semata,
atau ingin dianggap mulia.
A good education can change anyone.
A good teacher can change everything.
So, never say that someone is ‘JUST A
TEACHER’.
That’s like saying Clark Kent is just
‘SUPERMAN’.
Guru merupakan sebuah
panggilan dan suatu profesi yang unik. Anehnya, seberapa besarnya masalah yang
akan dihadapi tidaklah relevan dengan kecintaannya untuk mengajar
murid-muridnya. It’s just another day in
the classroom. Dan bukankah hidup akan jauh lebih berarti, ketika kita bisa
melakukan sesuatu bagi orang lain – seberapa pun kecil dampaknya. Itu adalah
bukti hidupnya. “Is worth it?” ”Oh, yes.
Indeed!” Bagaimana dengan Anda?
Untuk semua
guru-guru yang telah mendedikasikan dirinya untuk pendidikan musik,
THANK YOU.
“Your profession is not what brings home
your weekly paycheck,
Your profession is what you’re put here on
earth to do,
with such passion and such intensity that it
becomes spiritual in calling.”
- Vincent van Gogh -