"KEBISUAN METROPOLIS"
Reportase Pembukaan German Season 2015
by: Michael Gunadi Widjaja
OPENING OF GERMAN
SEASON
Deutsche Saison – GermanSeason – Festival Jerman, telah dibuka pada 5 September 2015. Resepsi
dan program perdana Festival Jerman mengambil tempat di TEATER JAKARTA, TAMAN
ISMAIL MARZUKI – Cikini, Jakarta. Festival Jerman diselenggarakan September –
Desember 2015. Festival ini mengambil tema “DEUTSCHLAND
– INDONESIEN: GEMEINSAM RICHTUNG ZUKUNFT” atau kira-kira padanannya: “Jerman
dan Indonesia: bersama menuju masa depan”. Penggagas Festival
adalah Kantor Kementrian Luar Negeri
Jerman, diselenggarakan oleh Goethe Institut dan didukung seabrek sponsor
terutama yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri German atau EKONID.
Maksud dan tujuan Festival Jerman
adalah sebagai perayaan sekaligus upaya nyata persahabatan Jerman-Indonesia
dalam bidang politik, seni budaya, dan pendidikan. Dalam pembukaan Festival
terdapat dua mata acara: resepsi dan pemutaran film bisu diiringi orkestra. Semula,
pembukaan akan berlangsung dengan resepsi pada jam 5 sore. Namun ternyata molor
sekitar satu jam. Tidak diketahui persis penyebab time delay festival. Masalah teknis kah atau jangan-jangan karena
ranahnya kerjasama budaya, Jerman berusaha bertoleransi dengan “gaya” Indonesia
yang gemar molor alias jam karet? Namun agaknya, untuk acara festival dengan
partisipan yang banyak dan juga undangan yang tak kalah banyak, time delay semacam ini masih dalam
ambang toleransi.
Teater Jakarta yang berkapasitas
lebih dari 2000 tempat duduk, hari itu tetap tidak terasa penuh sesak. Parkir
mobil masih relatif mudah. Ruangan konser juga masih mensisakan banyak kursi
kosong. Pengunjung terbilang banyak yang merupakan ekspatriat. Beberapa
diantaranya mengenakan dress code
sebagaimana lazimnya pembukaan dengan pertunjukan. Sebagian lagi mengenakan
kemeja kerja dan bahkan t-shirt meski
mereka tetap bersepatu. Pengunjung warga Indonesia sebagian besar mengenakan
batik dan gaun bagi wanita. Bagi sebuah acara yang diselenggarakan Pusat
Kebudayaan Asing dan didukung sangat banyak sponsor, kurangnya kepadatan
pengunjung meskipun rata-rata adalah undangan, menjadi hal yang agaknya menarik
untuk ditelisik di kemudian hari.
KATA SAMBUTAN
Ruang konser ditata sebagaimana
pertunjukan perdana sebuah film di era 1920-an. Layar lebar dengan orkes
pengiring dibagian bawah. Namun tidak seperti pertunjukan Opera Italia yang
orkesnya berada di bawah apron panggung. Pukul 6.30 acara dibuka dengan
pengantar MC. Menggunakan Bahasa Indonesia dan Inggris dengan lafal dan aksen
yang teramat sangat buruk. Rupanya MC ini sangat meng-Indonesia sampai lafal
dan aksen dialek Inggris pun dia “Indonesiakan”. Dipaparkan dengan panjang lebar
tentang maksud dan tujuan festival serta dipaparkan juga tentang orkesnya. Dikatakan
oleh MC bahwa orkes tersebut adalah orkes pengiring film bisu TERBAIK DI DUNIA.
Saya perlu memberi catatan tajam terhadap pernyataan ini. Mungkin jika
maksudnya adalah orkes film YANG PERMANEN, adalah YA DAN BETUL. Tapi jika
digeneralisasi untuk orkes pengiring film (bisu ataupun ngomong) jelas SALAH BESAR.
Saya sendiri pernah menyaksikan dokumentasi saat Leonard Bernstein dengan orkestra Inggris mengiringi film LONE RANGER edisi hitam putih yang
dibisukan. Jauh lebih menarik dan pas.
Duta besar dan berkuasa penuh
Republik Federal Jerman untuk Indonesia, DR.
Georg Witschel kemudian dipersilahkan memberi sambutan. Beliau memberi
sambutan dalam bahasa Indonesia dan Inggris dan hanya dua kali melafalkan
kalimat dalam bahasa Jerman. DR. Witschel memaparkan latar belakang festival
dan bahwa hal tersebut merupakan kelanjutan dari upaya yang dirintis mantan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dengan
joke segar, Dubes membawakan sambutannya sembari mengurai makna budaya dari
film bisu yang akan diputar dan sekelumit yang tersisa dari orkestranya. Yang
menarik adalah ketika Herr Witschel menghimbau agar pengunjung menerapkan mind-set kembali ke tahun 1920-an. Himbauan
ini sedikit banyak membantu pengunjung dalam mengapresiasi film ini nantinya.
Selesai sambutan Duta Besar, sambutan
berikutnya adalah dari saudara Prof. Dr. Katjung
Marijan, MA, Dirjen dari Departemen Pendidikan Indonesia. Saudara Marijan
mewakili Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Saudara Anies
Baswedan, Ph.D, yang hari itu sedang melakukan lawatan ke India. Materi
sambutannya hampir seperti pengulangan apa yang sudah disampaikan MC dan Duta
Besar. Dan meski MC sudah dengan sangat jelas melafalkan nama Yang Mulia Duta
Besar, Saudara Katjung Marijan tetap berkali-kali salah menyebut nama depan
Yang Mulia Duta Besar.
INDONESIA RAYA - Babelsberg Orchester
INDONESIA RAYA - Babelsberg Orchester
Selesai dua sambutan dikumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan lagu kebangsaan Jerman Deutsche Nationalhymne secara live oleh orkes. Orkes membawakan Indonesia Raya dengan bagus sempurna. Kok bisa ya? Padahal tak satu pun anggota orkes termasuk dirigennya yang asli Indonesia. Jawabannya gampang. Karena Indonesia Raya dikarang dengan lanskap komposisi dan materi Musik Eropa!
Film bisu yang dioutar adalah “METROPOLIS” karya Fritz Lang. Film ini sempat rusak dan kemudian potongan yang hancur
di temukan di Buenos Aires, Argentina. Pada tahun 2008, film ini direkonstruksi
kembali. Termasuk urutan adegannya. Film ini adalah film paling inovatif di
Eropa pada jamannya. Fritz Lang juga adalah sutradara pertama di Eropa, yang
menggagas sebuah komposisi musik secara khusus bagi sebuah film. Jaman itu, pemutaran
film bisu lazimnya diiringi oleh karya Musik Klasik yang baku dan sudah ada, serta
tentu bukan dikarang untuk keperluan sebuah film. Dalam METROPOLIS, komposisi
musik dikerjakan oleh Gottfried Huppertz.
Metode Huppertz dalam membuat iringan musik untuk film, menurut beberapa pihak
masih dipergunakan sampai hari ini. Termasuk pada kolaborasi film antara Steven Spielberg dan John William. Lanskap setting property film ini juga malahan
menjadi inspirasi film jaman sekarang. Seperti scene setting kota Gotham dalam
setiap film BATMAN. Tak heran jika film ini mendapat penghargaan UNESCO sebagai
salah satu harta kekayaan budaya semesta.
FILMORCHESTER BABELSBERG
FILMORCHESTER BABELSBERG
Orkes pengiring adalah FILMORCHESTER BABELSBERG dari Potsdam, dekat Berlin, Jerman. Yang datang ke
Indonesia kali ini adalah 60 pemain. Secara formatif, orkes ini hadir dengan
performansi instrumen lengkap. Meski hanya menyertakan satu bassoon, satu piccolo,
satu harp, satu reed organ, dan sederetan perkusi. Filmorchester
Babelsberg didirikan oleh Klaus Peter Beyer. Menarik
menyimak pernyataan Klaus Peter Beyer tentang penampilan Filmorchester Babelsberg di Indonesia:
Sadly, I don’t know very much about Indonesia, because I have not travelled all that much in my life. Even on holiday, I have never flown for more than two hours. So I, as most of the members of the Babelsberg Orchestra, have never visited Indonesia before.
The most interesting thing for me is: What is the public like in Indonesia? How will our music be received? How European music is in general perceived? Is the Indonesian audience emotional, and do they express these emotions? These are some of the questions that I’ve been thinking about and are interesting to me. I think we’ll just wait and see. That’s the best way to do things in this life.
Bertindak sebagai dirigen adalah Matt Dunkley. Sosok ini dikenal sebagai dirigen pada beberapa film papan atas, termasuk Mission Impossible V.
Official Trailer "Metropolis"
METROPOLIS. Jangan bayangkan anda
akan menikmati paparan realita dari hiruk pikuknya kota metropolitan yang
lengkap dengan problematika sosialnya. Sama sekali TIDAK. Metropolis adalah
sebuah film SCIENCE FICTION (Fiksi Ilmiah). Hal yang sangat patut diapresiasi
adalah, bahwa di tahun 1920-an, seorang Fritz Lang sudah dapat merekonstruksi
tentang keadaan kota Metropolis pada jaman kita sekarang ini. Sebuah rentang
waktu hampir seabad. Misalnya pertentangan antara kelas buruh proletar dan
kelas majikan. Juga pendewaan teknologi artifisial. Dalam film ini diwujudkan
dalam sosok manusia mesin berjenis perempuan. Bahwa suatu saat teknologi artificial
akan menjadikan manusia sebagai budak. Hal tersebut diramalkan Fritz Lang
melalui simbolisme teatrikal dengan efek filmographo kamar gelap. Yang untuk ukuran
jaman itu termasuk sebuah lompatan besar dan berani. Juga proses
industrialisasi yang senantiasa diperbudak oleh mekanika dan waktu. Metropolis
tergolong film cerita panjang dengan durasi sekitar 2,5 jam.
Peran musik dalam film ini rupanya murni sebagai pengiring. Dan bukan sebagai substitusi dialog maupun pembangun ruang suasana. Filmorchester Babelsberg membuktikan kelasnya sebagai orkes kelas dunia. Para pemain memiliki ketrampilan teknik bermusik yang sangat baik. Dirigen Matt Dunkley nyaris berfungsi hanya sebagai pengatur tempo. Tak ada matra dari marka dinamika pada gerakan tangannya. Benar-benar sebagai pengaba dan penjaga tempo karena pemain orkes dengan tingkat musikalitasnya yang tinggi, telah fasih membahasakan musiknya.
Pada 30 menit pertama, pengunjung masih terkesima. Namun setelah lebih dari satu jam, suasana gedung konser mulai dipenuhi canda tawa dan celotehan pengunjung. Seringkali terdengar gelak tawa pengunjung yang memperolok sekuen simbolisme dalam film yang terasa sangat klise untuk ukuran jaman sekarang. Meski sudah ada pesan dari Duta Besar DR. Georg Witschel agar kita meletakkan mind-set kita di tahun 1920-an, tetap saja terasa ada kekurangan daya apresiasi para pengunjung. Sebabnya adalah film terkesan bertele-tele. Juga tak adanya pengantar yang bersifat deskriptif akan hubungan musik dan filmnya.
METROPOLIS telah purna tayang. Apa yang kita bisa bawa pulang? Tak ada. Selain kebisuan. Paham dalam bisu, bahwa Jerman di tahun sekian telah sebegitunya.