WESTERN PARENTING
VS
EASTERN PARENTING
VS
EASTERN PARENTING
(part two)
"BATTLE HYMN OF THE TIGER MOTHER"
Anda pernah membaca buku Battle Hymn of the Tiger
Mother? Karya Amy Chua ini merupakan best seller tengah yang menjadi
perbincangan warga dunia. Dalam memoarnya, ibu dari Sophia (18 tahun) dan
Louisa (14 tahun) itu menceritakan kesuksesan serta kesalahan yang dibuatnya
dalam mengasuh anak dengan gaya tradisional Cina. Orang tua Cina memang terkenal otoriter. Kedisiplinan
dan kerja keras demi menggapai sukses mereka pertahankan di manapun berada.
“Ini menjadi nilai yang diakui bersama oleh warga Cina,” jelas sosiolog Erna
Karim.
Excerpt from the book
"Battle Hymn of the Tiger Mother"
Sophie Chua at Carnegie Hall
Di satu sisi, Amy mendapat acungan jempol atas hasil
pengasuhannya. Di usia 14 tahun, jemari si sulung, Sophia, lincah menari-nari
di atas tuts piano di Carnegie Hall. Sedangkan, adiknya, Louisa memainkan biola
tanpa sedikitpun nada sumbang. Seolah memenuhi tuntutan sang bunda, keduanya
juga tampil sebagai jagoan akademik.
Louisa Chua practicing violin
Kenyataan itu membuat banyak orang—terutama di Amerika—terusik. Standar kesuksesan anak Amy seolah menjadikan mereka sebagai orang tua yang gagal. Di samping itu, mereka menganggap profesor hukum dari Yale University kejam terhadap anak. Sebab, ibu yang menikah dengan pria Yahudi itu mengekang kedua putrinya dari kehidupan sosial. Mereka tak memiliki pengalaman menginap di rumah teman, pergi pesta, atau ikut pementasan drama.
Amy menuntut Sophia dan Louisa meraih nilai sempurna
di semua mata pelajaran, kecuali olah raga dan drama. Masing-masing juga harus
rutin berlatih alat musik yang dipilihkan sang bunda. Sebegitu kerasnya
terhadap anak, Amy bahkan tidak mengizinkan Louisa istirahat sejenak untuk
sekadar ke kamar kecil sampai gesekan biolanya merdu memainkan lagu "Little
White Donkey".
Sophie Chua talks about her mom's parenting style
Erna mengatakan orang Cina memiliki alasan kuat ketika
memberlakukan gaya pengasuhan otoriter pada anaknya. Kedisiplinan dan kegigihan
adalah sikap yang mereka perlukan untuk dapat bertahan hidup. “Anak-anak Cina
juga terbiasa tidak tergantung pada orang lain dan selalu berusaha meningkatkan
kompetensi diri.”
Tiger Mom Debate
Anak-anak Cina juga sejak kecil telah diperkenalkan
pada falsafah hidup. Mereka akan berusaha untuk tidak mempermalukan keluarga.
“Dengan didikan seperti itu, generasi muda Cina memang banyak yang sukses namun
emosinya datar,” komentar psikolog A Kasandra Putranto.
Sementara itu, gaya pengasuhan ala Amerika juga ada
plus-minusnya. Orang Amerika lebih permisif dan sangat memperhatikan faktor
psikologis anak. “Pola asuh seperti itu memang membuat anak dapat menjalani
hidup sesuai pilihannya namun mengkondisikan mereka menjadi anak yang besar
kepala dan seenaknya,” cetus Kasandra yang menjabat sebagai wakil ketua
Himpunan Psikologi Indonesia wilayah DKI Jakarta.
INDONESIAN PARENTING
Bagaimana dengan Indonesia? Kasandra menyimpulkan
orang tua Indonesia berada di antara dua kutub gaya pengasuhan Cina dan
Amerika. “Lantaran tiap pola asuh memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri,
kita tidak bisa mengatakan mana yang terbaik.”
Sementara itu, Erna memperhatikan masyarakat Indonesia
sangat plural. Ragam etnik dan agama mempengaruhi nilai-nilai yang dipergunakan
orang tua dalam mendidik anaknya. “Lantas, pola pengasuhan di desa juga berbeda
dengan di perkotaan.” Masyarakat desa, lanjut Erna, lebih permisif. Orang
tua cenderung membiarkan anaknya berkembang tanpa pendampingan yang sesuai
dengan tuntutan zaman. “Perhatian mereka terkuras untuk pemenuhan kebutuhan
ekonomi.”
Lalu, di perkotaan, orang tua tampak lebih akomodatif.
Kebanyakan dari mereka mencoba menyediakan sarana yang memenuhi nilai-nilai
moderenisasi. “Fokus mereka pada prestasi akademik dan persaingan masa depan,”
papar Erna. Itu sebabnya, orang tua perkotaan sibuk memasukkan
anaknya ke berbagai kursus. Terutama, komputer dan bahasa Inggris. “Lalu,
kebutuhan otak kanan yang mencakup bidang kesenian juga diakomodasi,” jelas
Erna.
FOOD FOR THOUGHTS
Untuk mengantarkan anaknya pada keberhasilan, Amy
menentukan kegiatan anaknya. Ia berpendapat hingga berusia pra remaja, anak
belum dapat secara objektif menilai. Otomatis, mereka harus mengikuti pilihan
orang tua. Terlepas dari kesuksesannya dalam membesarkan anak,
Amy mengaku membuat sejumlah kesalahan sepanjang perjalanan. Ia gampang naik
darah, kasar dalam perkataan, dan kurang memberikan keleluasaan memilih pada
putrinya. Ia juga tak segan memberi hukuman. Amy memang mengkritik pola asuh Barat yang cenderung
lunak pada anak. Ketika anak kehilangan semangat belajar biola, orang tua Barat
dengan cepat menawarkan alternatif alat musik lain yang lebih mudah dikuasai.
Sebaliknya, Amy justru memberi dukungan agar putrinya makin giat berlatih
supaya mahir.
Tidak semua anak Cina sukses diasuh dengan gaya
otoriter. Beberapa anak klien keturunan Cina di biro Psychological Practice
pimpinan Kasandra tertekan dengan pola asuh seperti itu. “Mereka memilih kabur
dari rumah karena tidak tahan dengan kerasnya didikan orangtua.” Akankah pencapaian Amy dijadikan barometer oleh
sejumlah orang tua? Sosiolog Erna Karim mengatakan pengekor Amy adalah mereka
yang tidak mampu mengonstruksi sendiri cara mendisiplinkan anak. “Orang yang
terus mengikuti perkembangan zaman namun tak tahu cara pengasuhan lebih
terpengaruh dengan buku-buku seperti Tiger Mom ini,” ungkap Erna.
CHALLENGES NOWADAYS PARENTING
TV, GADGETS, WIKI & INTERNET
Anak-anak Indonesia masa kini tumbuh dalam fasilitas
yang nyaris serba ada. Dengan dukungan ekonomi keluarga yang lebih mapan,
mereka mudah mengeksplorasi segala hal. “Dibandingkan dengan lima tahun lalu
pun kondisinya sudah berbeda sekali,” ungkap guru Bimbingan Konseling SMP
Labschool Kebayoran, Sinthya Bintarti.
Sementara itu, diperkenalkan oleh tayangan TV dan
orang dewasa di lingkungan sekitarnya, anak-anak juga mengenal percintaan di
usia yang sangat dini. Anak TK bahkan sudah dapat menyatakan kesukaannya pada
lawan jenis. “Tentunya dengan presepsi sesuai usianya,” ujar Sinthya. Dukungan fasilitas serta kondisi lingkungan seperti
itu mendatangkan masalah tersendiri bagi anak. Kedekatan mereka dengan gadget
dan akses internet membuat mereka teramat tergantung dengan teknologi. “Belum
saatnya mereka terlalu mengandalkan gadget,” cetus Sinthya.
Pada usia sekolah, lanjut Sinthya, semestinya anak
mencari informasi dari buku bacaan. Mereka harusnya membaca langsung dari
sumber primer. Sedangkan, Wikipedia sebetulnya berisi keterangan dari sumber
sekunder. ”Kebiasaan mengakses Wiki menurunkan minat baca mereka terhadap buku
teks.” Lantas, anak-anak sekarang juga berani memasuki dunia
pergaulan di dunia maya. Padahal, mereka belum sepenuhnya bisa memilah. “Ada
bahaya yang mungkin timbul dari pertemanan dengan orang asing di social media,”
kata Sinthya.
Selain itu, anak juga terlampau sering terpapar dengan
tontonan tidak sehat, seperti sinetron. Tayangan tersebut membuat mereka mudah
berkata kasar. “Mereka menganggap berkata kasar merupakan bagian yang biasa
dalam pergaulan,” ucap Sinthya. Di lain sisi, ada komunikasi yang terputus antara
orang tua dan anak. Sering kali, ekspektasi anak terhadap orang tuanya gagal
tersampaikan secara utuh. “Anak belum selesai mengutarakan harapannya, ayah
ibunya sudah keburu memotong,” kata Sinthya. Ketika nilai ulangan jelek, misalnya, orang tua tidak
mendengar sampai tuntas penyebab versi anak. Padahal, anak membutuhkan dukungan
ayah bundanya. “Cobalah untuk menurunkan diri sedikit agar bisa merasakan
masalah yang dialami anak,” saran Sinthya.
Sumber:
Reiny Dwinanda,
Wartawan Republika
- There's no such one-size-fits-all parenting. Different strokes for different folks.
- We are all very defensive when it comes to our parenting style. Showing displeasure on the less than par performance of our children is not being too hard but is sometimes necessary to remind them how good they really are.
- This brings us to the next insight: Sometimes poverty and hardships give us the competitive edge. The book talks about the children of migrant parents who start as outcasts and whose parents work so hard to have a good life in the USA (like Chua’s parents). Their being outcasts and their parents’ constant reminder that they are sacrificing to give them the best opportunities rub on them positively and consequently result to highly successful students.
- The more global we become the more we should make sure our children know their roots. Knowing where they came from, their family and cultural traditions may make them “weird” in the eyes of “mainstream kids” but this “weirdness” will actually become their unique qualities which will give them the competitive advantage someday, enabling them to contribute more to this global society.
but becoming the best persons we parents can be.