Wednesday, August 1, 2018

3 HARDEST PIANO ETUDES - by: Jelia Megawati Heru (Staccato, August 2018)

“3 HARDEST PIANO ÉTUDES”
by: Jelia Megawati Heru
(Staccato, August 2018)



TANTANGAN BERMAIN PIANO
Memainkan 88 tuts piano dengan sepuluh jari bisa menjadi sangat menantang – baik secara fisik, teknis, maupun artistik. Mempelajari piano membutuhkan berbagai keterampilan fisik (motorik halus), seperti: koordinasi, kekuatan, stamina bak pelari marathon, jari-jari seperti baja bak seorang atlet, dan kemampuan intelektual yang tinggi. Ibarat kombinasi Serena Williams dan Steve Jobs pada piano. Untuk itu dibutuhkan ketekunan, waktu, kesabaran, metode, materi latihan yang efektif dan efisien. Seorang pianis yang baik akan dinilai, berdasarkan kecakapannya dalam menguasai teknik bermain yang tinggi dan memahami faktor estetika sebuah komposisi musik.

Untuk menjawab tantangan teknis dan artistik ini, maka para komposer dan praktisi pendidikan musik menyumbangkan berbagai pemikiran dan konsep pendekatan sistem pedagogis yang terbaik dan komprehensif. Mulai dari latihan jari pada tahun-tahun pertama studi piano, seperti tangganada (scale), hingga buku studi yang secara mandiri membahas tantangan teknis tertentu dalam repertoar Musik Klasik (misalnya: ketangkasan jari, kecepatan, interval 3rd/6th/8ve, akor, arpeggio, dll). 


PENGANTAR ÉTUDE
Istilah "étude" (berasal dari Bahasa Perancis yang artinya: “BELAJAR”) telah digunakan sejak abad ke-19 untuk menggambarkan komposisi musik instrumental yang terfokus pada pelatihan dan menyempurnakan aspek tertentu dalam teknik bermain seorang musisi. Pada abad ke-19 piano mencapai puncak popularitasnya dan memasuki era zaman keemasan sebuah virtuositas. 

Bicara mengenai piano étude, tidak terlepas dari Frédéric Chopin sebagai salah satu pelopor terbentuknya seni étude yang revolusioner – dimana atletik dan estetika berpadu dengan sempurna. Bagi seorang Chopin muda, praktik dan studi piano stereotype yang ada pada masa itu, tidaklah cukup baik untuk menaklukkan tuntutan teknis, karakter, dan musikalitas sebuah komposisi lagu. Oleh karena itu Chopin menciptakan étude miliknya sendiri. Pada 24 Oktober 1829, Chopin menulis kepada Titus Woyciechowski“I have composed a grand study in my own manner.”


Satu hal yang menjadi ciri khas Chopin’s étude, adalah unsur emosional yang melampaui latihan teknik jari yang membosankan. Dimana latihan yang sederhana berubah menjadi mahakarya seni yang berkilauan dan indah. Setiap étude memiliki cerita nya sendiri tentang ekspresi yang dinamis. Setiap karya Chopin memiliki elemen virtuoso yang harus dieksekusi dengan baik untuk mendapatkan efek, karakter tertentu, serta variasi warna dan tekstur yang tidak terbatas. Aspek inilah yang dikembangkan dan menjadi ciri khas repertoar Musik Romantik. Étude merupakan salah satu kulminasi tertinggi seni bermain piano. Sebuah master piece

Chopin’s étude mempunyai pengaruh yang besar ke banyak komposer di masa depan, seperti: Alexander Scriabin, Sergei Rachmaninoff, dan Claude Debussy. Carl Czerny, Muzio Clementi, Cramer, Franz Liszt, hingga György Ligeti, dan John Cage, adalah sederet nama komposer yang menulis piano étude. Beberapa piano étude masih digunakan sebagai materi mengajar piano hingga hari ini.
  
MENEMBUS BATAS
Apakah étude itu sulit? Jawabannya relatif dan bervariasi bagi setiap individu. Umumnya SULIT dan bahkan AMAT SANGAT LUAR BIASA SULIT. Perlu diketahui, bahwa memainkan étude merupakan tantangan yang besar bagi setiap pianis. Tidak semua étude selalu bisa dimainkan – untuk seorang profesional sekalipun. Karena tingkat kesulitannya yang sangat tinggi, kompleks, ekstrem, dan pada beberapa kasus tidak berlebihan apabila dikatakan mustahil. Apalagi mengingat tangan pianis Asia memiliki jangkauan jari yang lebih kecil daripada pianis Eropa. Pianis yang memaksakan diri untuk memainkan étude yang sangat sulit, dapat berakhir tragis dengan cidera serius pada tangannya. 

Schumann's Finger Strengthening Device

Sebagai contoh pianis dan komposer asal Rusia, Alexander Scriabin cidera parah dalam berlatih “Islamey” dari Mily Balakirev. Atau Robert Schumann yang menciptkan suatu alat mekanik yang disebut sebagai “Happy Fingers” untuk melatih jari-jari tangannya, yang sekaligus mengakhiri kariernya sebagai pianis. Not so happy fingers afterall. Walau mengetahui risikonya, jurus pemungkas adu testoteron dan adu kecepatan jari ini tetap dilancarkan dalam berbagai kompetisi piano. 

Walau banyak piano étude yang sulit, seperti: Rachmaninoff’s Études-tableaux ("study pictures"), Op. 33Scriabin’s 12 Études, Op. 8, atau György Ligeti’s 18 Études for Piano. Ada tiga étude yang dikenal sangat sulit di kalangan para pianis, yaitu: 


1. Frédéric Chopin’s Étude Op. 10 No. 2 in A minor (“Chromatic”)
Chopin menulis dua buku étude, Op. 10 dan Op. 25 (total 24 lagu), yang mencakup seluruh kemungkinan teknis yang sebaiknya dimiliki oleh pianis profesional. Dua buku ini merupakan karya yang paling populer dimainkan oleh para pianis. Op. 10 didedikasikan untuk Franz Liszt yang juga sekaligus merupakan pianis virtuoso pertama yang berhasil menguasai semua lagu tsb.

Seperti julukannya “Chromatic”, maka étude ini memiliki struktur tangganada kromatik. Étude ini bertujuan untuk mengembangkan kemandirian jari-jari yang lemah pada tangan kanan dengan memainkan figur tangganada kromatik yang cepat dengan hanya menggunakan jari ke-3, ke-4, dan ke-5 secara legato. Sementara dua jari pertama tangan kanan dan kiri kontras memainkan iringan akor pendek. 

Dmitri Shishkin: "Chopin Etude Op. 10 No. 2 in A minor"

Kesulitannya adalah bagaimana melakukan figur kromatik ini secara merata di piano dengan akurat, legato, lembut, lancar, dan pada tempo yang cepat, secara terus-menerus dengan menggunakan jari yang terlemah (jari ketiga, keempat, dan kelima). Pianis Perancis, Alfred Cortot mendeskripsikan karakter étude ini dengan"meluncur dan menguap". Sedangkan Alfredo Casella menyebutnya sebagai "misterius, cepat, aerial, dan tidak substansial".


2. Franz Liszt’s Étude No. 3 in G minor (“La Campanella”)
“La Campanella” (berarti 'bel kecil' dalam bahasa Italia) atau Rondo alla campanella/Ronde à la clochette adalah julukan yang diberikan kepada étude ini. Étude ini merupakan étude ke-3 dari 6 Grandes études de Paganini. Liszt sangat mengagumi Niccolò Paganini, seorang violinist dari Italia. Oleh karena itu potongan melodinya berasal dari tema“Paganini's Violin Concerto No. 2 in B minor”, dimana komposisi ini mengusung tema lagu rakyat Italia dan melodinya diperkaya dengan handbell

Evgeny Kissin: Liszt "La Campanella"

Untuk menciptakan efek suara lonceng, maka Liszt menggunakan melodi dengan jarak yang lebih besar dari satu oktaf, dan bahkan dua oktaf dalam tempo yang sangat cepat (Allegro spiritoso). Étude ini bertujuan untuk melatih ketangkasan, kelincahan jari-jari, dan akurasi dengan lompatan yang besar pada jari-jari yang lemah (jari ke-4 dan ke-5). Secara terus menerus memantul pada nada yang tinggi selama kurang lebih 5 menit.

La Campanella juga merupakan salah satu étude yang paling populer, a crowd pleaser yang bisa membuat pendengarnya tergila-gila bak beatles groupies, dan konon salah satu yang paling sulit dan rumit yang pernah ditulis untuk piano.


3. Debussy’s Étude No. 3 (“Pour les Quartes”)
Debussy menulis catatan kecil tentang eksekusi étudenya: "a warning to pianists not to take up the musical profession, unless they have remarkable hands". Itulah peringatan Debussy terhadap para pianis yang akan memainkan maha karyanya yang brilian, namun sangat sulit dimainkan. Mungkin terdengar menakutkan, tapi sayangnya Debussy tidak berlebihan sama sekali. Debussy sangat mengagumi karya-karya Chopin. Seperti juga Chopin’s étude, untuk memainkan Debussy’s étude dengan tekstur abstrak dan kompleks dibutuhkan pendekatan pianistik profesional setara level konservatori (profesional). 

Étude ini merupakan étude ke-3 dari Douze Études pour le piano yang ditulis oleh Debussy di akhir masa hidupnya, ketika Debussy divonis mengidap kanker (1915). Seandainya Debussy hidup lebih lama, maka akan ada seperangkat dua belas étude baru yang akan menandingi 24 étude dari Chopin (Op. 10 & Op. 25). Urutan studi secara teknis pada buku I terlihat sangat logis, misalnya: sebuah studi untuk lima jari, in thirds, in fourths, in sixth, dan oktaf.

Mitsuko Uchida: Debussy's Etude No. 3 "Pour le Quartes"

Banyak pianis yang menganggap étude No. 3 ini sebagai salah satu étude Debussy yang paling radikal. Karena jarak interval 4th pada prakteknya sangat jarang digunakan dalam musik teori Musik Klasik. Debussy juga menjelajahi warna suara dan tekstur khusus yang sebelumnya tidak pernah dilakukan oleh komposer lain di piano, dengan penambahan ornament, kromatik, polytonality, dan ambiguitas ruang serta waktu. Sehingga terdengar seperti magic

Belum lagi ketiadaan fingering yang sengaja dilakukan oleh Debussy, sangat menantang dan menggelitik bagi para pianis. Go figure! Étude ini juga sangat direkomendasikan bagi para pianis Jazz Modern, karena penggunaan interval 4th sangat populer dalam harmoni Jazz. Happy dan safe practicing!