Friday, June 1, 2018

AIR MATA DI KELAS PIANO - by: Jelia Megawati Heru (Staccato, June 2018)

AIR MATA DI KELAS PIANO
by: Jelia Megawati Heru
(Staccato, June 2018)


ATAS NAMA CINTA
“Tears in piano lesson” bukanlah karena kelilipan iritasi mata kena asap rokok atau karena sedih patah hati seperti lagu “Smoke Gets in Your Eyes”. Dan jelas juga bukan “air mata buaya”. Linangan air mata ini bisa terjadi, karena luapan emosi anak, ketika ia merasa terpaksa harus bermain piano. Terutama ketika pertanyaan ini dilontarkan: kenapa kamu belajar piano? Lalu dijawab dengan “Karena disuruh mama.” dengan nada terpaksa.

Observasilah dan tanyakanlah kepada diri Anda, apakah anak Anda merasa percaya diri dan merasa bahagia dengan kelas piano nya? Atau anak selalu merasa depresi, minder, merasa bersalah, putus asa, panik, ketakutan, trauma, atau menyiratkan kebencian, jika menyangkut hal yang beraroma piano?



OBSESI ORANG TUA
Sudah jelas, bahwa setiap orang tua menginginkan hal yang TER-baik dan keberhasilan bagi anak kesayangannya – pendidikan musik yang TER-baik, guru piano TER-baik, kualitas piano TER-baik, nilai TER-baik, pokoknya NUMERO UNO! Mayoritas orang tua Asia masih menggunakan metode “Reward and Punishment”. Demi mencapai tujuannya, sayangnya beberapa orang rela menempuh hal-hal diluar batas kelaziman – yang mengarah kepada kekerasan fisik dan pelecehan mental (penghinaan atau kata-kata makian yang sifatnya mempermalukan) dengan mengatasnamakan CINTA. “You’ll thank me later!” ujar seorang tiger mom.


Beberapa supermom (dan juga guru) melakukan hal ini dengan alasan, agar anak-anak nya dapat menjadi kuat dan mandiri, untuk bekal/persiapan masa depan mereka. Toh, nantinya mereka akan dihadapkan pada kondisi yang sangat kompetitif di masyarakat. Jadi sedini mungkin anak harus dipacu supaya tidak kalah bersaing. Alasan tsb sangat positif dan terbalut dengan cantik.

Sebetulnya sih kalau ditelisik lebih jauh dan kalau boleh jujur, banyak orang tua yang melakukan hal ini semata-mata hanya demi GENGSI dan HARGA DIRI. Biar tidak kalah pamor di kalangan media sosial. Di sisi yang lain, terkadang miris seorang anak yang “tidak mampu” tidak mempunyai pilihan, selain mati-matian berjuang demi memenuhi harapan orang tuanya. Daripada dipecat jadi anak, tidak disayang oleh orang tua nya, atau yang lebih buruk menerima konsekuensi berupa hukuman.



HARGA YANG HARUS DIBAYAR MAHAL
Kegagalan orang tua dalam mendidik anaknya, merupakan sebuah harga yang akan dibayar sangat mahal. Karena kegagalan ini berpotensi menorehkan luka dan kebencian yang mendalam terhadap Musik Klasik. Mirisnya kebencian ini baru harga minimum yang harus dibayar. Parahnya orang tua yang harusnya menjadi pelindung dan perisai bagi anak-anak, justru merupakan penyebab utama kehancuran sang buah hatinya.

Bayangkan jika Anda memiliki sebuah telur emas. Tentunya yang di benak Anda adalah: “Wah, sebuah angsa emas – peluang emas!”. Namun ketika didalamnya hanyalah seekor ugly duckling, seekor bebek entok biasa. Apa yang akan Anda lakukan? Memaksa bebek menjadi angsa dan mengecatnya dengan cat emas? Tentu saja tidak!

JIka Anda mempunyai anak seperti Joey Alexander atau Yuja Wang. Syukur Alhamdullilah! Tetapi jika anak Anda bukanlah sang anak ajaib, Anda tidak akan memaksanya untuk menjadi Stevie Wonder, bukan? Takutnya bukannya menjadi numero uno, malah menjadi minus-o atau amburadul-o. Alih-alih anak termotivasi dan menjadi yang TER-baik, anak malah jadi trauma, emosi jiwa, dan anti terhadap kelas piano nya.



GURU PIANO YANG DESTRUKTIF
“Great art comes from great pain.” Film Whiplash telah mengejutkan penonton terhadap tirani dari pendidikan musik garis keras. Dimana terdapat adegan Andrew Neiman (Miles Teller), seorang instrumentalis yang sedang menjejalkan jari-jarinya yang memar dan berdarah ke dalam ember berisi air es. Akibat derita latihan ekstrem yang dilakukannya demi memenuhi tuntutan standar permainan yang tinggi. Andrew mendapatkan perlakuan kasar dan tekanan yang luar biasa dari guru nya yang sadis, Terrence Fletcher (J.K. Simmons)


Dalam dunia Musik Klasik selama berabad-abad para komposer telah menuliskan bagian lagu yang secara fisik menantang untuk dimainkan bagi mereka, baik dari segi kecepatan maupun kekuatan (virtuoso). Ketika seorang pianis berhasil melakukannya, maka pianis ini dianggap jenius dan hebat. Karena hal semacam itu dianggap tidak mungkin dimainkan – di luar batas kemampuan manusia pada umumnya. 

Pada awalnya mungkin hanya ada beberapa orang saja yang bisa melakukan hal semacam itu. Namun karena banyaknya kompetisi piano, maka semua orang berlomba-lomba untuk melakukan upaya yang luar biasa dengan meningkatkan standar permainan, walau harus mengorbankan tangannya atau bahkan dirinya.

Selain orang tua yang ambisius, ada pula guru piano "profesional" yang tidak menghiraukan semua nilai moral, etika, privasi, dan kepribadian anak. Dengan antusiasme nya yang besar, mereka melakukan tindakan untuk mendisiplinkan murid dengan menghalalkan segala cara (baca: agresif) – termasuk melempar buku, melempar metronome, memaki, maupun memukul. Terutama kalau kesal, apabila anak tidak bisa-bisa juga dan dekat dengan deadline ujian piano.

Efek negatif guru piano yang destruktif, menyebabkan anak tidak memiliki ruang pribadi, tidak memiliki suara, tidak memiliki hak untuk berpendapat dan berkembang sesuai dengan keinginannya sendiri. Anak harus tunduk “diam dan mendengarkan”, juga patuh terhadap instruksi yang diberikan tanpa syarat. Sangat pasif dan sifatnya satu arah.

Mayoritas orang tua Asia akan lebih suka dengan tipe guru yang killer dan galak, supaya anak memperoleh nilai yang bagus. Kategori guru piano yang satu ini juga takut, apabila mereka tidak bisa memenuhi harapan orang tua dan nilai ujian distinction. Ketika tujuan tidak tercapai, jurus kekerasan mulai dilancarkan.



Setiap jalan ini ditempuh, akan selalu ada EFEK SAMPING. Anak bisa menjadi TRAUMA terhadap kelas pianonya. Tahu darimana? Anak mulai berurai air mata, ketika mendengar kata “PIANO”, mengeluh tentang guru pianonya yang galak, menolak untuk berlatih, tidak mau datang ke kelas piano nya, frustrasi, dan ujung-ujungnya minta berhenti.

Jika Anda mempunyai guru yang seperti ini dan menerima anak Anda diperlakukan seperti beruang sirkus, yang selalu dipermalukan dengan teriakkan yang menggema hingga terdengar sampai ke tetangga sebelah dan melakukan kekerasan terhadap anak hingga trauma. Maka Anda adalah orang tua yang bodoh dan tuli, yang pasif menunggu anak Anda dibawa ke penjagalan. Hal ini TIDAK SEPADAN dengan dampak negatifnya terhadap anak.

WHAT’S NEXT?
Saya yakin bahwa tidak ada guru maupun orang tua manapun yang berniat menyakiti anak-anaknya. Tidak ada yang salah dengan bersikap disiplin dalam mendidik anak. Disiplin dan tekun berlatih adalah dua hal yang penting dalam belajar instrumen musik. Namun sebaiknya kita mulai membuka mata kita lebar-lebar dan memahami hal yang sedang terjadi, terutama pada hal yang akan “membunuh” kualitas terbaik sang anak dan cara untuk memperbaiki kesalahan fatal ini.



1. MEMAHAMI KONDISI MURID
Satu hal yang paling mendasar dalam belajar adalah memahami murid, bahwa mereka adalah seorang MANUSIA dan bukan seekor binatang peliharaan yang bisa dikendalikan dan diperlakukan seenaknya seperti seekor beruang sirkus atau seorang idiot. Mereka juga memiliki hak dan perasaan. Opini anak perlu disimak dan diperhitungkan. Luangkan waktu untuk berkomunikasi dengan anak! 


Anak-anak juga akan melakukan banyak kesalahan dan tidak bisa selalu sempurna dan menurut sepanjang waktu. Pasti ada masa kebosanan, masa ujian di sekolah, dimana mereka sibuk dan tidak sempat berlatih. Jangan bandingkan anak Anda dengan tetangga sebelah yang mempunyai rumput lebih hijau atau dengan siapapun juga. Hindari pilih kasih (favoritism)dan sedapat mungkin bersikap adil kepada saudara kandung yang lainnya.

Fokuslah pada kondisi anak Anda. Bukalah mata Anda lebar-lebar dan pahamilah kondisi anak Anda. Jadilah realistis dan jangan bermimpi di siang bolong. Ingat tidak semua anak adalah prodigy dan bisa di-build menjadi musisi profesional. Kalau telur emas Anda hanya berisi bebek biasa, Anda tidak perlu ngoyo menyulapnya menjadi angsa emas. Anda justru perlu mengevaluasi dan mengkaji ulang tujuan anak belajar musik. Tidak ada yang salah kok dengan anak tidak menjadi No. 1 dan menjadikan musik sebagai hobi yang sifatnya enrichment.



2. KESABARAN ADALAH TEMAN BAIK ANDA
Apabila murid melakukan kesalahan, guru dan orang tua tidak bisa serta merta langsung bertindak sebagai HAKIM dan sekaligus ALGOJO. Meremehkan, menghina mereka, menghiraukan perasaan anak, dan “ringan tangan” bukanlah JAWABANNYA! Namanya juga PROSES BELAJAR, pasti akan ada banyak rintangan dan mereka akan melakukan banyak kesalahan.

Rasa frustrasi dan kesulitan yang dihadapi anak tidak dapat dipandang sebelah mata. Ketika mereka gagal memenuhi harapan orang tua, anak jangan langsung dipukul ala Bruce Lee. Alih-alih menjadi hakim dan algojo, jadilah orang terdekat mereka yang bisa mereka percaya untuk berbicara dan memotivasi mereka. Berilah pengertian dan ajari mereka cara terbaik untuk melewati semua problem dan rasa frustrasi yang mereka hadapi. Karena anak Anda lah yang akan duduk di kursi panas, bukan orang tuanya.

Berikanlah mereka kesempatan untuk melakukan kesalahan dan belajar dari sana. Tidak ada yang bilang proses belajar ini akan mudah lancar jaya. Jika menyangkut belajar, tidak pernah ada JALAN PINTAS! Jadi ketika Anda tidak memiliki hal yang bernama KESABARAN, tampaknya mungkin pendidikan musik bukanlah bidang yang cocok digeluti.



3. MENCARI ALTERNATIF LAIN
Setiap kesalahan yang kita lakukan akan tampak jelas pada karakter dan bahasa tubuh sang anak. Oleh karena itu guru dan orang tua juga harus menjaga perilaku mereka dan menjadi PANUTAN bagi muridnya. Disiplin pun mempunyai batasannya sendiri. Jangan sampai kebablasan. Kekerasan secara verbal dan fisik merupakan area yang sebaiknya tidak dieksplorasi. Akibatnya bisa fatal, jika dibiarkan berkepanjangan. Waktu tidak dapat diputar kembali. Sesal kemudian tiada arti. Jika anak bermasalah dan pendidikan menemui jalan buntu (stagnant), maka orang tua dan guru piano harus mempunyai ALTERNATIF lain.

Banyak faktor yang bisa menyebabkan kelas piano anak tidak berhasil. Jika chemistry anak dengan guru tidak baik. Anda bisa mencari guru piano yang mempunyai kualifikasi lebih baik, yang mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan nyaman. Ketika anak mempunyai perilaku dan kondisi khusus (special case), orang tua sebaiknya berkonsultasi kepada pakar, seperti psikiater atau psikolog anak. Apalagi jika anak sudah berada dalam kondisi frustrasi dan traumatik, maka mereka jelas membutuhkan bantuan yang lebih profesional.

Dukunglah anak secara AKTIF! Dengan menjalin komunikasi yang baik dengan guru dan anak, mendengarkan anak berlatih, menjadi partner berlatih di rumah, memotivasi anak, menyediakan sarana dan prasarana, serta lingkungan belajar yang kondusif, dan selalu hadir dalam konser piano nya. Sedapat mungkin selalu utamakan anak Anda diatas kepentingan Anda.



Jangan menutup mata dan membiarkan anak sendirian dengan perspektif negatif, bahwa dirinya tidak berharga dan tidak disayang karena tidak bisa memenuhi harapan orang tuanya. Berhasil atau gagal, anak itu tetap anak Anda. Penting bagi seorang anak untuk mendapatkan APRESIASI terutama dari orang tuanya. Tuntutan yang tinggi perlu diimbangi dengan apresiasi yang tinggi pula. Apresiasi ini bentuknya tidak harus berupa materi, namun dapat berupa pujian atas hasil usaha/kerja keras sang anak. Karena pada dasarnya manusia mempunyai kebutuhan untuk DICINTAI dan DIHARGAI. Bukankah kebahagiaan anak juga merupakan kebahagiaan orang tua?