Miliaran orang terhubung di seluruh dunia melalui berbagai platform media sosial, dari Snapchat hingga Instagram, hingga TikTok. Berbagai platform media sosial telah menjadi cara yang mudah bagi seseorang untuk memperluas jangkauan dan mengembangkan "merek" pribadi mereka, baik mereka adalah seorang individu, artis, influencer, CEO, dan musisi.
PERSONAL BRANDING
Penggunaan media sosial oleh artis individu - dan khususnya, musisi klasik membentuk "budaya musik klasik." Meskipun niat awalnya mungkin untuk terhubung dan membangun network, musisi sekarang sering menggunakan media sosial sebagai cara untuk mempromosikan diri mereka (personal branding) tanpa malu-malu dengan berbagai humor dan gaya yang mereka pamerkan setiap saat, mengikuti trending, dan FOMO (Fear of Missing Out). Hal ini sayangnya tidak selalu “sehat”.
Mengembangkan merek untuk diri sendiri berarti menempatkan beban di atas kehidupan yang sudah penuh tekanan bagi seorang musisi, baik di dalam maupun di luar ruang latihan. Sementara platform medsos ini dirancang untuk “menjebak” penggunanya dalam siklus tanpa akhir dari doom scrolling, menonton iklan, dan promosi merek. Jadi, sementara perusahaan-perusahaan besar ini memprioritaskan keuntungan mereka, musisi dan kita semua, sejujurnya - harus berusaha untuk memprioritaskan keaslian dan kelangsungan seni yang sustainable untuk jangka panjang daripada engangement yang viral namun hanya bertahan sebentar.
EFEK NEGATIF MEDSOS BAGI SISWA PEMULA
Seorang siswa muda yang masih belajar memainkan dan berlatih alat musik jika mereka melihat video atau reels anak-anak prodigy mungkin bisa kena mental. Bagaimana caranya mereka mengalahkan anak berusia tiga tahun yang bisa memainkan lagu yang super sulit? Bagaimana mereka mengejar hasil yang tidak dapat dicapai dan tidak realistis?
Itulah sebabnya banyak generasi milenial dan GenZ yang baru belajar piano tiba-tiba sudah memiliki problema perfeksionis dan kecemasan yang parah, dan mereka menjadi mudah depresi ketika tidak bisa mencapai standar like medsos. “Jika saya tidak bisa sempurna, saya lebih baik memilih untuk tidak melakukannya sama sekali.” Ini adalah hal yang harus diwaspadai oleh guru dan orang tua. Faktanya tidak semua anak itu prodigy. Kalau anak Anda jenis yang biasa-biasa saja, apakah berarti anak tidak usah belajar piano saja? Pemikiran apa ini? Cape deh…
Kenyataannya, belajar musik itu butuh latihan dan hasilnya tidak ada yang instan. Yang bilang sebaliknya, itu iklan. Belajar musik bukan tentang menampilkan diri Anda sebagai super megabintang dan meniru orang (plagiat) seperti di acara pencarian bakat, melainkan ibarat percakapan musikal dan membagikan pengalaman estetis Anda. Untuk apa? Ya yang jelas bukan untuk pamer atau show off atau flexing. Tapi kalau mau begitupun silahkan saja monggo, sisbro. Lalu buat apa dan biar apa dong? Kembali lagi motivasinya apa? Mostly untuk diri sendiri atau bisa juga karena encouragement dari orang tua. Bisa juga untuk hobi dan menyenangkan diri sendiri. Bisa juga biar papa mama senang. Sisanya itu bonus.
Sebagai guru musisi muda, kita harus mendorong siswa untuk fokus pada motivasi dan hasrat internal mereka sendiri, dan tidak membandingkan kemajuan mereka dengan kemajuan orang lain. Dengan menemukan kegembiraan atas kemajuan dalam diri mereka sendiri atau kepuasan bathin, maka siswa dengan sendirinya akan bekerja keras, berusaha melakukan yang terbaik, mencintai musik, dan bermain musik for life.
SEKSI KOMEN YANG PEDAS
Sayangnya, dengan semakin banyaknya kesempatan untuk mendengar musisi hebat bermain di medsos, justru pemain muda kehilangan minat dalam menciptakan interpretasi pribadi mereka sendiri atas karya musik yang mereka mainkan. Efek samping dari media sosial dan platform seperti YouTube, adalah semakin banyak tekanan untuk menyesuaikan diri dan membandingkan diri sendiri dengan seksi komen medsos yang mengkritik secara kejam, brutal, seenak udel, dan no filter akan kesempurnaan dan interpretasi kelas komentator dari orang yang asing yang suka membully. Hal ini bahkan bisa terjadi pada musisi profesional kaliber dunia sekalipun.
ISOLASI
Internet memiliki kemampuan untuk mengisolasi. Banyak musisi klasik yang berjuang untuk menemukan titik temu antara penggunaan teknologi baru, bagaimana terhubung dengan calon penonton terutama yang lebih muda, dan sekaligus mengombinasikan tradisi masa lalu.
Kemampuan untuk “terhubung” dengan orang lain dalam pertunjukan musik dapat menjadi salah satu pengalaman yang paling berharga. Berbeda dengan menonton cuplikan video 10 detik dari pianis yang berbaju seksi yang sudah diedit, menghadiri konser langsung secara real time yang menampilkan karya musik yang hebat dari musisi sungguhan di depan publik antara penonton dan performer merupakan pengalaman yang tiada duanya dan akan dikenang seumur hidup hingga akhir hayat menjemput.
Begitu juga dengan kolaborasi. Dengan berkolaborasi, musisi muda terbebas dari siklus penyalahgunaan membandingkan dan kritik di medsos, karena musisi tidak hanya menggunakan apa yang mereka ketahui untuk berlatih, menafsirkan, dan menampilkan karya yang hebat, melalui kolaborasi dengan musisi lain mereka diperkenalkan pada sudut pandang dan perspektif yang mungkin tidak mereka pahami.
DIGITAL BURN OUT
Media sosial telah menjadi sarana utama untuk membangun dan memelihara basis penggemar, mendorong aliran dan penjualan, penemuan musik, serta membuka pemasaran dan dukungan finansial dari label dan mitra merek.
TikTok adalah taman bermain tempat para artis dan kreator dapat berinteraksi, menggabungkan kepekaan dan bakat unik mereka untuk mendorong tren ke garis depan budaya. Hasilnya adalah meningkatnya tekanan — baik yang dipaksakan sendiri maupun dari label/manajemen untuk aktif di platform media sosial ini dan terus-menerus membuat konten baru.
Ada tekanan bagi para konten kreator untuk menciptakan momen viral secara teratur. Seberapa realistiskah harapan ini? Tidak ada resep ajaib untuk menghasilkan lagu hits, hal yang sama berlaku untuk menciptakan momen viral. Sebagian besar lagu yang dirilis tidak menjadi hits, dan sebagian besar kampanye media sosial juga tidak menjadi viral. Ini adalah lingkungan yang sangat kompetitif, yang dipenuhi konten dimana kesuksesan ditentukan oleh perpaduan unik antara bakat, kreativitas, waktu yang tepat, dan keberuntungan.
Keterlibatan media sosial pada platform seperti TikTok dan Instagram telah menjadi jenis tur baru, dalam arti bahwa platform tersebut menyediakan titik akses langsung antara artis dan penonton. Artis yang baru muncul terus-menerus mencoba menciptakan momen viral, sementara artis yang sudah mapan bekerja keras untuk mempertahankan momentum mereka. Apa yang dulunya merupakan pilihan artis untuk hadir secara digital telah menjadi harapan yang hampir universal.
Namun, garis yang memisahkan online dari offline seringkali kabur — sebagai seorang konten kreator, ada tekanan untuk membuat konten tanpa batas. Faktanya, banyak musisi menggunakan malam liburan mereka untuk mengerjakan video TikTok berikutnya seolah tida ada habisnya. Oleh karena itu muncullah istilah "kelelahan digital" — kelelahan dan tekanan mental yang mengganggu orang-orang yang sangat aktif secara daring.
Kelelahan digital dalam konteks ini mengacu pada kelelahan mental, fisik, dan emosional sebagai akibat dari stres dan tekanan yang berkepanjangan untuk terus-menerus membuat konten media sosial, di samping semua tanggung jawab lain sebagai musisi profesional (misalnya, menulis lagu, merekam, memproduksi, tampil secara live, bersekolah, bekerja, mempromosikan rilisan baru, dll.).
Kelelahan semacam ini memengaruhi artis di setiap level atau tahap karier mereka. Artis pendatang baru perlu aktif di media sosial untuk mulai membangun basis penggemar mereka, serta bereksperimen dengan berbagai jenis konten untuk mengembangkan merek, persona, dan bahkan suara mereka. Hal ini juga dapat memainkan peran penting dalam membantu mereka maju ke tahap berikutnya dalam karier mereka. Pada tahun 2020, lebih dari 70 artis yang berhasil di platform TikTok menerima kesepakatan dengan label rekaman besar.
Namun artis yang sudah mapan perlu tetap terlibat di media sosial untuk berinteraksi dengan penggemar mereka, tetap relevan, dan yang terpenting, mempromosikan rilisan. Selain itu, banyak label rekaman sekarang menggunakan statistik pengikut dan keterlibatan media sosial untuk menentukan anggaran pemasaran.
Beberapa faktor yang menyebabkan kelelahan digital meliputi manajemen waktu dan prioritas yang tidak efektif, tidak menetapkan batasan yang sehat, tidak mencari dukungan, terlibat dengan pelaku perundungan siber atau troll daring, penggunaan alat yang tidak efektif, kurangnya keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan; kebiasaan kesehatan yang buruk (misalnya, tidur, pola makan, olahraga), dll. Indikator lain kelelahan digital adalah tidak memposting di media sosial untuk jangka waktu yang lama, menghapus profil (atau bahkan aplikasi), kecemasan yang parah tentang postingan, kelelahan ekstrem dan kurangnya motivasi.
Manajemen media sosial merupakan seni sekaligus sains. Medsos bisa menjadi kurva pembelajaran yang curam. Seniman independen (atau manajer artis yang lebih mapan) harus mempelajari serangkaian keterampilan yang sama sekali baru, selain banyak tugas mereka yang lain.
Idealnya setiap seniman seharusnya dapat membuat dan menerbitkan konten yang autentik terhadap merek mereka dan selaras dengan nilai-nilai mereka tanpa harus menggunakan fitur atau berpartisipasi dalam tren yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. Waspada terhadap kelelahan digital dan kesehatan mental. Perawatan diri dan kesadaran diri sangatlah penting dalam menjaga keseimbangan jasmani rohani. Prioritaskan diri Anda! Stop scrolling, log off, mulailah berlatih, dan nikmati hidup! Stay healthy!