The Singapore Symphony Orchestra (SSO) adalah sebuah Orkestra Nasional kebanggaan Singapura. Orkestra ini sudah berdiri sejak 1945. Pernah mengalami jeda pertunjukan pada 1946 sampai 1978. Setelah itu, orkestra ini melejit dan membuat debut yang luar biasa. Dalam setahun orkes yang merupakan kepedulian Pemerintah Singapura terhadap Musik Seni ini, mampu menggelar sampai 60 pertunjukan. Orkestra ini memang berbasis di Gedung Konser Esplanade yang sangat populer dan menjadi salah satu Pride dan Ikon negara Singapura.
Masyarakat menjuluki Esplanade sebagai 'Durian', karena bangunan kembar ini menyerupai buah tropis berduri yang unik. Desain Esplanade yang dibuat oleh arsitek Michael Wilford ini menampilkan fasad khas yang terbuat dari ribuan kaca segitiga dan pelindung matahari aluminium yang menyerupai bagian luar durian yang berduri. Pilihan desain ini mencerminkan identitas budaya Singapura dan berfungsi sebagai simbol ikonik kota tersebut. Esplanade merupakan pusat pertunjukan seni kelas dunia, terdiri dari dua bingkai bulat dan dilengkapi dengan lebih dari 7.000 kaca kerai segitiga memiliki 1600 kursi concert hall.
Saat ini, SSO memiliki Dirigen tetap yakni Okko Kamu, berkebangsaan Finlandia, Hans Graf berkebangsaan Austria, dan Lan Shui seorang Chinese warga negara Amerika. Tadinya Lan Shui ini juga merangkap Music Director SSO, namun sekarang beliau sudah resign dan kembali ke USA. SSO ini anggotanya adalah para musisi naturalisasi. Tidak semua orang Singapore dan berkebangsaan Singapore. Banyak juga yang bermain berdasarkan kontrak kerja. Ini menunjukkan bahwa CLASSICAL MUSIC IS BEYOND ALL LIMITS. Dan mungkin hal seperti ini bisa diterapkan di Indonesia sebagaimana halnya dengan tim sepakbola kita.
Di bulan April 2025 ini SSO sebetulnya menggelar 3 kali Konser. Tanggal 11, 12, dan 18 April 2025. Yang sempat saya hadiri adalah penampilan tanggal 18 April 2025 dengan Dirigen Hans Graf dan Pianis Daniil Trifonov. Daniil Trifonov sendiri bagi publik Indonesia mungkin tak setenar Daniel Barenboim ataupun Lang Lang dan Yuja Wang. Bahkan mungkin publik Musik Seni di tanah air lebih terpesona oleh belaian George Harliono. Namun seorang Daniil Trifonov sejatinya adalah The New Legend. Ia juara Chopin Competition. Rekamannya yang diproduksi Deutsche Gammophon mendapat pujian dengan interpretasi dan teknik musikal yang luar biasa.
Pertunjukan berlangsung full 2 jam dengan Intermission atau jeda istirahat selama 20 menit. Ruang Konser Esplanade yang legendaris memang siap diperuntukkan event serius semacam ini. Akustik yang sempurna, tata lampu yang membangun suasana, dan penonton yang meski tentu tak bisa dibandingkan dengan konser Taylor Swift tapi menunjukkan antusiasme publik dan Singapore dan manca negara terhadap pertunjukan ini. Repertoire yang dibawakan adalah: karya Igor Stravinsky “Divertimento of Fairy’s Kiss”, karya Sergei Rachmaninoff “Piano Konserto No. 4 dalam G kecil, Opus 40”, dan karya Claude Debussy “Images pour Orchestre”.
Divertimento dari Stravinsky berlalu hampir 25 menit. Karya ini digubah Stravinsky untuk memperingati meninggalnya Tchaikovsky. Khas Stravinsky. Perbauran kultur antara Baroque dan Folkloric Rusia. Piano Konserto dalam G Kecil opus 40 dari Rachmaninoff. Tanpa banyak komentar, Daniil Trifonov menunjukkan kelasnya sebagai The Living Legend. Interpretasinya sempurna dalam hal “bahasa” musik Rachmaninoff. Tekniknya memantapkan posisinya sebagai Legenda hidup yang layak dihormati dalam blantika musik Piano. Perpaduan interpretasi Piano Daniil Trifonov yang “sangat Rusia” dan Direksi Hans Graf dengan disiplin Vienna yang ketat menjadikan karya ini sebuah paparan kisah yang nostalgik dan berasa multi kultural.
Images pour Orchestre karya Debussy. Berlangsung lebih dari setengah jam. Disini, interpreasi Hans Graf masih bisa diperdebatkan. Bukan soal baik atau buruk. melainkan suatu fakta bahwa musik Debussy adalah impressi Perancis. Yang masih melekat satu aksioma bahwa musik Perancis hanya pas disajikan oleh Asli Perancisnya sebagaimana baguette, croissant, dan bâtard.
The Singapore Symphony Orchestra dalam performansinya yang kesekian kali telah menorehkan kecemerlangan pada kain kanvas budaya semata. Bahwa Musik Klasik memang mampu menjembatani segala kesenjangan apapun dan di manapun. langkah indahnya jika Indonesia memiliki tradisi seperti ini.
Dari kemegahan Esplanade Concert Hall. Jelia Megawati Heru meliput khusus untuk STACCATO.