Nama Jelia Megawati Heru, M.Mus.Edu dikenal sebagai Music Educator terkemuka di Indonesia. Sebuah profesi yang masih tergolong sangat langka. Kiprahnya dapat dikatakan memberikan sumbangsih yang besar bagi perkembangan musik dan pendidikan musik di Indonesia. Seorang Jelia Megawati Heru adalah alumnus Jerman, dimana Eropa adalah tonggak dan barometer musik seni khususnya Musik Klasik di dunia.
Jelia menulis tiga buku tentang musik dengan Bahasa Indonesia, sebagai bentuk sumbangsih atas masih langkanya literatur musik berbahasa Indonesia. Blog pribadinya, yakni Jelia’s Music Playground menjadi acuan dan referensi bagi para mahasiswa jurusan musik dan Pendidikan musik di Indonesia. Kanal YouTube nya Jelia
Seorang Jelia Megawati Heru adalah juga sosok yang menghantarkan banyak anak Indonesia mencapai jenjang Internasional dan bahkan menggelar konser di Eropa. Ia menerima banyak penghargaan – mulai dari The Best Private Studio dari RSL Awards empat kali berturut-turut mulai dari tahun 2021-2024 dengan 51 Rockstar Awards,sampai penghargaan Teacher Awards kelas dunia sebanyak tiga kali dari Chopin Avenue, Active Music Educator Award dan Excellent Mentorship Award dari 2024 International Classical Music Talent Competition, dan Excellent Music Teaching Award dari Wien International Young Musician Competition 2024.
Team Staccato berkesempatan melakukan wawancara eksklusif di Studionya di kawasan Jakarta Utara. Sore itu,team ditrima dalam piano room yang sejuk, asri, dan penuh pernak pernik koleksi hiasan lucu dan unik. Berikut adalah wawancara kami dengan Jelia Megawati Heru, M.Mus.Edu
Ibu Jelia dikenal sebagai Music Educator terkemuka di tanah air. Apa sih Bu bedanya music educator dengan guru musik biasa?
Ehm.. Pertanyaan seperti itu sering ditanyakan pada saya. Sederhananya begini. Guru musik yang bukan Music Educator itu bisa berasal dari pemusik professional. Mereka karena keterampilan musiknya dipercaya untuk mengajar. Sambil menunggu menunggu gig atau konser yang sifatnya non reguler, mereka mengajar. Tentu lesson session nya berupa instruksi-instruksi. Mereka tidak mengedepankan aspek psikologis muridnya. Goal nya adalah yang utama si siswa bisa bermain musik dengan layak, menurut standar kelaziman.
Ada lagi guru musik yang memang memiliki sertifikasi formal dari jurusan Pendidikan Musik. Mereka ini dalam mengajar sudah mulai mengedepankan aspek psikologi didaktik para muridnya. Juga mulai ada lesson plan yang bersifat keilmuan. Goal nya murid mendapat asupan bagi kepribadiannya disamping bisa main bermusik dengan layak.
Nah Music Educator itu, dua yang tadi ditambah kemampuan critical analysis. Seorang Music educator bisa membuat kurikulum, silabus, simulasi model pembelajaran, memadukan internal dan external resources, seperti teknologi dan referensi non musik. Music educator memang mempunyai spesialisasi untuk mengajar anak untuk segala usia dan semua level dengan memperhitungkan semua aspek pedagogik, didaktik, dan psikologis dengan musik sebagai medianya. Jadi ini adalah profesi yang dilakukan bukan karena nyambi atau iseng-iseng berhadiah karena lagi nggak ada gig, brosis.
Yang penting sebetulnya, bukan mana yang lebih bagus antara guru musik biasa dan musik educator. Melainkan apa kebutuhannya. Jika anda atau anak anda butuh musik sebagai casual enrichment ya guru musik biasa sudah cukup.
Kami lihat prestasi Ibu sampai mendapat penghargaan internasional dan bahkan worldclass award. Bagaimana ibu mempersiapkan para siswa sampai bisa dapat internasional award sebegitu banyak?
Sebetulnya kompetisi bukanlah tujuan akhir dari pembelajaran piano, tetapi kompetisi bisa menjadi salah satu bagian dari proses pembelajaran. Kompetisi bukanlah suatu keharusan dan tidak diperuntukkan untuk semua orang. Tidak semua anak ingin menjadi pianis dan bisa dibuild untuk menjadi kuda pacu. Goal masing-masing anak berbeda. Tetapi saya selalu menginformasikan setiap parents dan murid mengenai kompetisi dan festival yang ada. Tentunya dengan memberikan pengertian kepada setiap parents apa gunanya mengikuti kompetisi tsb, plus dan minusnya, serta memberikan pertimbangan terhadap kondisi anak, jadwal sekolah umum yang begitu padat untuk anak Jakarta, dan konsekuensi latihan yang lebih banyak sampai deadline hari-H.
Jika anak siap, maka anak dipersiapkan dan diprogramkan untuk menghadapi kompetisi. Guru disini sifatnya hanya memfasilitasi saja. Selain menyediakan waktu, latihan yang lebih efektif, mental mereka pun harus dipersiapkan. Yang paling penting mereka bisa bermain dengan sebaik-baiknya, mempunyai jam terbang untuk tampil di depan publik dan mempunyai mental yang kuat. Menang itu hanyalah bonus. Yang terpenting anak mempunyai daya juang dan mau bekerja keras dalam mencapai goalnya. Jangan sampai mengejar kemenangan semu – sebuah efek bumerang dan anti klimaks dalam proses belajar, yang akan membuat anak justru patah semangat dalam belajar di kemudian hari.
Hasil dari kompetisi itupun juga harus direview – apakah membawa hal yang baik atau buruk bagi sang anak? Do’s & don’ts? Apa yang bisa dilakukan dengan lebih baik? Apakah anak bisa diikutkan kompetisi lagi? Banyak hal yang harus dipertimbangkan dan dikomunikasikan dengan murid dan parents. Jadi disinilah bedanya music educatordengan guru musik pada umumnya. Pekerjaan guru itu tidak selesai di kelas 1 kali seminggu 45 menit, tetapi PR guru itu sebetulnya tidak pernah selesai, sama seperti PR orang tua.
Menurut Ibu bagaimana keadaan anak Indonesia pada umumnya dalam belajar piano?
Yang pertama harus dipahami dahulu, bahwa guru musik, itu satu profesi yang mulia. Guru musik berjuang agar HAK MENDAPAT PENGAJARAN DAN PENDIDIKAN MUSIK menjangkau anak, remaja dewasa seluas mungkin. Itu dulu prinsipnya. Kita berpegang pada prinsip Music Education is for Everyone. Nah prinsip itu diperhadapkan pada Gen Z dan generasi COVID dengan akses internet yang no limit, yang serba instan, terjangkit virus malas akut, dan parents dengan pola pikir yang “modern”, rentan dengan media sosial, sedikit-dikit posting, sedikit-dikit viral, sedikit-dikit FOMO, dan mintanya anaknya harus jadi the next Lang Lang dan Ling Ling. The struggle is real!
Banyak sekali influencer di sosmed yang sok pintar, sok tahu, dan menyesatkan! Lucunya publik suka sekali dibohongi. Jadi pemikiran mereka kerapkali salah kaprah dan tingkah serta request mereka juga aneh-aneh. Sok pintar, sok kritis, dan aneh bin ajaib. Misalnya mahir bermain piano dalam 1 minggu, tidak perlu belajar scale, tidak perlu belajar Musik Klasik lama-lama, main piano dengan kaki, main piano dengan posisi tangan terbalik, maksa anaknya itu berbakat, membandingkan anak mereka dengan anak umur 3 tahun prodigy yang sudah bisa bermain Chopin Etude walau mainnya salah-salah amburadul, tidak perlu punya piano kalau les piano, dll. Lama-lama kok kayak sirkus ya?! Lalu anaknya jadi badut, gitu? Be wise, moms!
Di database kami Bu Jelia juga tercatat sebagai penelaah utama buku guru SD SMP SMK KEMDIKBUD sekarang KEMDIKDASMEN. Menurut Ibu bagaimana pengajaran musik di sekolah umum kita?
Yang saya amati, dengan KURIKULUM MERDEKA di SD SMP SMA itu siswa diharuskan untuk memilih Kelas Peminatan seni, salah satunya adalah Musik. Buku pelajaran pun sudah mengindonesia. Tidak ada lagi anak disuruh paham Bach, Debussy, Beethoven. Untuk apa. Yang utama adalah paham dan mencintai kekayaan musik dan budaya Musik Indonesia. Untuk Bach, Beethoven itu kalau siswanya tertarik mereka kan bisa membaca mandiri di internet. Tapi penanaman cinta musik nasional dan daerah perlu dilakukan tahapan pendidikan yang tersaji dengan sistem yang baik.
Di 2025 ini kira-kira apa tantangan bagi para guru musik ?
Ekonomi. Global berarti dampak ekonomi yang buruk. Segalanya akan lebih sulit bagi para guru musik. Bisa saja penghasilan guru musik menyusut di tengah arus global. Ini problem dan tantangan utama. Mas Wapres minta anak SD belajar Coding, AI; lalu Ibu Sri Mulyani minta anak sejak SD belajar pasar saham, yang berarti waktu untuk sekolah formal lebih banyak. Ya guru musik harus pandai-pandai meramu paket ayam kremes pendidikan musik, agar waktu siswa yang makin sedikit tapi tetap ada hasilnya. Namun sekali lagi, yang penting jangan goyah pada prinsip bahwa Pendidikan Musik adalah HAK anak bangsa, dan tetaplah humble. Wawancara berakhir dengan ramah tamah ditemani sajian kopi, teh, dan cemilan yang padu padan dengan senyum.
Team Staccato