"RAISING MUSIC PRODIGY"
by: Jelia Megawati Heru
Staccato, December 2015
PRODIGY ATAU BERBAKAT?
Terminologi “prodigy” sebetulnya sangat subjektif
dan sering disalahartikan. Pasalnya terkadang orang tua suka menilai bakat
anaknya secara “lebay”, latah terlalu
cepat mengatakan bahwa anaknya adalah seorang prodigy. Kemungkinan besar anak
tsb memang BERBAKAT (talented), namun
anak tsb bukanlah seorang prodigy. Biasanya seorang prodigy berumur sangat muda
dan bukan hanya saja berbakat, namun bakatnya melebihi batas kewajaran lazimnya
manusia dalam suatu bidang (special case)
– alias super jenius.
PRODIGY: TO BE OR NOT TO BE
Prodigy bukanlah murni produk
dari good parenting, kerja keras,
disiplin, dan kondisi sosial pada suatu masa. Namun merupakan hadiah (gift) dari Sang Ilahi. Dari sekian
banyak anak berbakat, mungkin hanya ada satu prodigy di dalam satu zaman.
Ibarat banyaknya bintang di langit yang bersinar, namun hanya ada satu komet
yang sangat spesial, yang melintas belum tentu sekali dalam 100 tahun. Lain
dengan artist karbitan yang sifatnya instan dan sarat dengan pernak-pernik.
Walaupun anak dilatih secara profesional dan “militer” dalam lingkungan yang
musikal sejak dini. Tanpa adanya bakat, faktor genetik, keterampilan motorik,
dan tingkat inteligensia yang tinggi (IQ & EQ); anak tetap saja tidak akan
bisa menjadi seorang prodigy.
DEFINISI PRODIGY DALAM MUSIK
Music prodigy adalah seseorang
yang mempunyai bakat musik yang luar biasa, diatas rata-rata melampaui orang
pada zamannya. Umumnya istilah music prodigy ini lazim digunakan dalam ranah
Musik Klasik.
Mengapa bukan Musik Pop, Rock,
atau Jazz? Karena Musik Klasik mempunyai standar
yang bisa diukur, dan jenjang pendidikan
yang secara ilmiah bisa
dipertanggungjawabkan serta diterima oleh para akademia. Jadi ada tolok ukur
yang jelas. Bukan anak bisa memainkan lagu “Fuer Elise” simplified version dalam seminggu, lantas dikatakan anak tsb
adalah music prodigy. Ketika anak piawai memainkan lagu dan instrumen musik
dalam waktu singkat tidak membuat anak tsb menjadi music prodigy, melainkan
berbakat.
Seorang music prodigy tidak
hanya mahir memainkan lagu dan instrumen musik dalam waktu singkat. Namun ia
bisa memainkannya dalam tingkat advanced
tanpa perlu bersusah payah dalam usia yang sangat muda. Ia juga bisa
mendengarkan musik dalam sekali dengar dan menuliskannya kembali dalam notasi
balok. Lalu bahkan mempunyai ide untuk mengaransi dan mengkomposisi lagu,
padahal tidak ada yang mengajarkan. Kalaupun ada yang mengajarkan, tidak
mungkin seorang anak umur lima tahun bisa menulis sebuah simfoni, bukan? Kalau
8 bar mungkin saja, tapi kalau sinfoni itu suatu keajaiban dan kemustahilan.
Dalam Musik Klasik salah satu tokoh yang menjadi ikon karena kejeniusannya
dalam bermain musik dan mengkomposisi adalah Wolfgang Amadeus Mozart.
THE “LITTLE” MOZART
Kejeniusan Mozart merupakan
hal yang kontroversial yang selalu dipertanyakan, bahkan hingga detik ini. Ada
pendapat yang mengatakan bahwa kejeniusan Mozart hanyalah propaganda dan ambisi
dari ayahnya belaka, Leopold Mozart. Karena karir Leopold yang redup (violis,
guru, dan komposer), maka ia melampiaskannya kepada Mozart. Mozart hanya
dijadikan alat penghasil uang. Mana mungkin sih anak umur lima tahun bisa
mengkomposisi sebuah Sonata? Apakah itu karya original dari Wolfgang atau
Leopold? Banyak pendapat yang tidak setuju bahwa Mozart adalah seorang yang
jenius.
Tapi jangan lupa, hidup Mozart
selalu dipenuhi dengan tes. Tidak hanya sekali dan tidak hanya di depan publik,
komposer terkemuka, kalangan bangsawan, namun juga di kalangan kerajaan. Semua orang penasaran dan ingin tahu
kemampuan sang anak ajaib (das
Wunderkind). Tesnya pun sangat sulit dan sering “mengada-ada” – mulai dari menuliskan kembali lagu yang didengarnya
satu kali tanpa kesalahan sedikit pun, memainkan sinfoni dalam manuskrip yang
belum pernah ia lihat sebelumnya pada piano (sight
reading), melakukan beberapa improvisasi dan modulasi sebagai alternatif
akhir dari lagu, hingga menutup matanya dengan kain sambil bermain harpsichord – bahkan dalam posisi terbalik.
Di zaman itu belum ada DVD,
MP3 recorder, dan konser hanya diadakan beberapa kali saja. Jadi bagaimana
mungkin Mozart (10 tahun) bisa menulis kembali aria yang ia dengar dalam sebuah
opera berdurasi tiga jam tanpa kesalahan sedikitpun dalam sekali dengar? Yang
jelas politik dan trick tidak akan bisa membantu Mozart dalam menyelesaikan
semua tes itu. Mozart menulis sinfoni ke-25 nya dalam G minor ketika ia berumur
17 tahun. Jadi umur berapakah Mozart ketika ia menyelesaikan ke-24 sinfoni
sebelumnya? Hmm…
Mozart juga adalah seorang violis yang handal, salah satu yang terbaik di Vienna, Austria pada masa itu. Ia juga piawai memainkan harpsichord dan piano. Bahkan ia bisa menulis Sonata untuk Basso Continuo. Ketika Anda berada dalam posisi kaum akademia yang melihat kehebatan Mozart dengan mata kepalanya sendiri, sulit untuk menyangkal bahwa Mozart bukanlah seorang prodigy. Kalau contoh diatas tidak cukup melukiskan kata prodigy atau musical genius, saya tidak tahu harus berkata apa.
Mozart juga adalah seorang violis yang handal, salah satu yang terbaik di Vienna, Austria pada masa itu. Ia juga piawai memainkan harpsichord dan piano. Bahkan ia bisa menulis Sonata untuk Basso Continuo. Ketika Anda berada dalam posisi kaum akademia yang melihat kehebatan Mozart dengan mata kepalanya sendiri, sulit untuk menyangkal bahwa Mozart bukanlah seorang prodigy. Kalau contoh diatas tidak cukup melukiskan kata prodigy atau musical genius, saya tidak tahu harus berkata apa.
BAGAIMANA JIKA ANAK SAYA BUKAN PRODIGY?
Apakah
berarti ia tidak berbakat dan tidak perlu belajar piano? Sungguh pertanyaan
yang aneh dan tidak relevan dengan belajar instrumen musik! Dalam dunia
pendidikan - entah anak prodigy, berbakat, biasa saja, atau bahkan tidak berbakat
(entah menurut standarnya siapa), seharusnya tidak menyurutkan passion anak
dalam belajar instrumen musik. Tujuan anak belajar musik seharusnya bukan
berarti anak harus menjadi seorang maestro, musisi, dan terkenal. Melainkan
membentuk pribadi yang lebih baik, humanis, kaya (bukan dari segi materi), yang
mampu mengekpresikan dirinya dan mengapresiasi seni budaya – seni memanusiakan manusia dan membuat hidup
lebih berarti.
Jangan
terlalu terfokus pada bakat sang anak. Berbakat atau tidaknya anak, sudah
menjadi tugas dan kewajiban orang tua untuk mendukung anak sebaik mungkin.
Perkara anak nantinya ingin hidup dari musik atau meniti karier untuk menjadi
seorang musisi adalah pilihan hidupnya.
Sebagai orang tua, sudah sepantasnya Anda melakukan peranan Anda agar
anak mendapatkan pendidikan musik yang layak – baik secara formal maupun
informal, sebagai bekal untuknya di masa depan. Secara informal, Anda bisa
mendaftarkan anak untuk belajar pada guru piano dengan kualifikasi profesional
(bersertifikat). Anda juga dapat memasukkan anak dalam lembaga informal seperti
sekolah musik/lembaga kursus yang memiliki standard serta kurikulum
internasional. Sedapat mungkin, anak juga diberi kesempatan untuk tampil dalam
resital atau konser sebagai praktik hasil proses belajarnya secara real-time. Ujian musik juga bisa menjadi
alternatif untuk memotivasi anak, sejauh hasilnya positif bagi perkembangan
dirinya.
FENOMENA MUSIC PRODIGY DI INDONESIA
Seni merupakan suatu hal yang
sulit dinilai – alias subjektif. Di Indonesia, orang tua kerap kali latah
dengan istilah prodigy. Sebagian besar orang tua suka lebay. Beranggapan,
apabila anaknya bisa mendengarkan musik dan menyanyikan nadanya hanya dalam
sekali dengar, maka anaknya adalah seorang yang jenius dalam musik. Belum lagi
dengan fenomena “gila kompetisi” yang semakin marak dan menjamur. Seolah ingin
memberikan pengumuman dalam huruf besar dan dicetak tebal “MY CHILD IS A GENIUS!!!”
Sebetulnya banyak cara kok untuk mengapresiasi bakat anak -
tanpa perlu memaksa anak untuk menang kompetisi dan meraih rekor apapun. Hal
yang sebaiknya TIDAK dilakukan orang tua maupun guru dalam pembelajaran musik
adalah MEMBANDINGKAN ANAK yang baru saja belajar musik dengan Mozart dan ikon
pianis Lang Lang. Hanya karena
Mozart belajar piano pada umur 4 tahun, bukan berarti semua anak juga
diharuskan untuk belajar piano pada umur 4 tahun? Apakah karena Mozart memainkan piano dalam posisi terbalik dan mata ditutup, berarti anak juga harus melakukan hal tsb? Come on, be smart! Hal ini TIDAK BISA DIGENERALISASI! Mengapa? Karena anak bukan beruang sirkus dan pada hakikatnya manusia itu unik, diciptakan berbeda satu dengan yang lainnya.
Hal utama yang dibutuhkan
seorang anak bukanlah piala maupun gelar, namun perhatian dan apresiasi dari
orang tuanya. Sudah saatnya masyarakat menjadi kritis terhadap budaya “prodigy”
dan latah NARSIS tidak ketulungan. Lalu beralih fokus kepada pendidikan musik
yang berkualitas, efek musik sebagai
pengisi bathin anak, dan peran orang tua sebagai supporter terbaik anak. Supaya publik tidak LATAH dan DIBODOHI
terus-menerus oleh pelaku BISNIS dalam INDUSTRI pendidikan musik.
Kalau anak
bukan prodigy dan tidak berbakat, so what
gitu loh?
Bukankah ikatan antara orang tua - anak yang semakin kuat dan
kemajuan anak yang positif
bernilai 100 kali lipat lebih baik dibandingkan
sebuah piala kompetisi musik?
Atau sudah terlampau buta-kah orang tua
untuk
menyadari bahwa egonya-lah yang
berbicara dengan mengatasnamakan “cinta”?