Pages

Tuesday, June 5, 2012

Seni Tradisional Mengasah Kepekaan Sosial Anak

SENI TRADISIONAL 
Mengasah Kepekaan Sosial Anak


Mempelajari dan melestarikan seni tradisional tidak melulu berurusan dengan rasa kebanggaan terhadap budaya bangsa. Apresiasi anak terhadap kesenian tradisional tergantung stimulasi yang diberikan orangtua sejak kecil.

Anak-anak dan remaja zaman sekarang memang cenderung menggandrungi seni modern daripada seni tradisional. Di pihak lain banyak orangtua berharap anak-anaknya mau ikut melestarikan budaya dan seni tradisional.

Mempelajari seni apapun bentuknya, berarti memberikan anak kesempatan untuk memperkaya wawasan mereka mengenai seni dan budaya. "Selain itu, secara psikologis, dengan mempelajari seni maka anak bisa mengasah emosinya menjadi lebih halus, tenang, namun tetap ekspresif, terutama dalam mengungkapkan perasaannya dalam berkesenian." ujarnya.

Sejak lahir, anak sebenarnya memiliki lima potensi yang harus dikembangkan untuk menjadikannya manusia yang "pintar" seutuhnya. "Mempelajari seni berarti memberikan kesempatan pada anak untuk mencerdaskan emosi mereka, mengasah kepekaan pada keindahan, keseimbangan, harmonisasi, gradasi, kecantikan, dan lain sebagainya", ujarnya.

Karena itu, pengembangan potensi emosional juga harus memiliki porsi yang sama besar dengan potensi spiritual, intelektual, sosial dan jasmaninya. "Keseimbangan pengembangan kelima potensi tsb sangat penting utuk diperhatikan oleh orangtua karena sangat dibutuhkan anak dalam kehidupannya kelak."

Sejak 40 tahun terakhir, kalau diperhatikan, seni tradisional memang makin terpinggirkan. Sejak tahun 70-an, muncul teknologi yang perlahan namun pasti menyingkirkan seni tradisional. Setelah munculnya teknologi layar tancep, yang memang lebih murah, lebih modern, persiapannya lebih sederhana, maka orang mulai melupakan Lenong di Jakarta. Begitu juga ketika ada bentuk seni hiburan yang lebih baru lagi, maka seni tradisional makin tidak dilirik masyarakat. Dan itu terus berjalan sampai sekarang.

Pola migrasi tiap etnik yang berbeda-beda juga turut menyebabkan terjadinya masalah ini. Dulu di Jakarta masih banyak kantong-kantong etnis yang memungkinkan seni tradisional masih bisa terus terpelihara. Tapi, setelah mereka juga makin terpinggirkan oleh masyarakat urban, maka seni tradisional pun makin kehilangan pendukung dan eksistensinya. Perubahan orientasi dan paradigma bangsa kita juga mempengaruhi makin hilangnya seni tradisional dari kehidupan bangsa.

Orang mulai menganggap seni tradisional itu kuno, ketinggalan jaman. Dan hal ini ukan hanya terjadi pada masyarakat Jakarta saja. Masyarakat daerah pun juga selalu berkiblat pada Jakarta. Apa yang sedang tren di Jakarta, maka akan diikuti oleh masyarakat daerah. Akhirnya masyarakat daerah pun melupakan seni tradisional daerahnya sendiri. Yang merasakan dampaknya adalah para seniman tradisionalnya. Mereka kehilangan pemasukan, sementara mereka harus tetap bertahan hidup. Jadilah mereka kemudian membawa seni tradisional ke jalanan sehingga seniman semakin dipandang rendah oleh masyarakat.

Kenyataan ini ditambah dengan makin banyaknya urbanisasi yang terjadi dan memberikan kehidupan yang lebih mapan pada para pelakunya, sehingga mereka makin enggan untuk kembali ke daerahnya masing-masing. Sementara selera kesenian mereka pun bergeser ke arah kesenian yang dianggap lebih modern, namun itu pun belum sepenuhnya bisa dinikmati. Efek sampingnya adalah makin berkembangnya kesenian yang memadukan antara seni tradisional dengan seni modern, misalnya campur sari.


JAUH DARI HARAPAN

Banyak hal yang juga turut mempengaruhi makin terpinggirkannya seni tradisional di mata bangsa sendiri. Peran media massa juga cukup besar dalam hal ini. Publikasi besar-besaran terhadap seni modern, makin seragamnya trend seni yang diterapkan dalam keseharian, kurang mampu mengekspos dan mengeksplorasi seni tradisional, dan ketidakmampuan dalam mengubah paradigma masyarakat, merupakan beberapa bukti partisipasi media massa dalam hal ini. Belum lagi teknologi yang kian hari kian maju dengan pesat dan hampir sulit diikuti apalagi diimbangi oleh seni tradisional.


Walaupun terdapat perkembangan seni tradisional akhir-akhir ini untuk mengangkat seni tradisional Indonesia - seperti Gamelan dan Wayang, yang dinobatkan sebagai salah satu World Heritage dan usaha pemerintah untuk memasukkan kesenian dalam kurikulum pendidikan sekolah, tetapi penerapannya masih jauh dari harapan karena hanya bersifat politis dan provinsial saja.

MENGASAH KEPEKAAN

Seni tradisional bermanfaat untuk mengubah kepribadian seseorang menjadi lebih peka terhadap lingkungan. Umumnya anak-anak di kota-kota besar sangat pintar, tetapi mereka berkembang menjadi manusia-manusia yang individualis, arogan, kurang bisa menghargai sesama dan tidak tanggap terhadap sikon lingkungan.

Kondisi yang memprihatinkan ini memacu beberapa sekolah swasta untuk menerapkan sebuah peraturan baru, bahwa semua murid di sekolah tsb harus mempelajari seni musik gamelan dan mereka tidak bisa lulus tanpa memainkan gamelan dengan baik. Dengan adanya "peraturan" ini, maka murid-murid diharapkan untuk lebih bisa menghargai orang lain, menikmati kebersamaan, menyadari bahwa mereka butuh orang lain sebagai makhluk sosial, dan memahami harmonisasi dalam sebuah kebersamaan, Semua itu adalah inti dari permainan musik gamelan. Kita tidak bisa memainkan gamelan apabila kita tidak bisa menghargai orang lain atau bermain seorang diri.

Hal yang sama telah dibuktikan oleh pemerintah Inggris. Di hampir semua penjara di Inggris mengharuskan tahanannya untuk mempelajari musik gamelan. Dan hasilnya... Manusia yang tadinya "buas", senang menyakiti orang lain, tidak menghargai sesama, individualis berubah menjadi lebih tenang, menghargai kebersamaan dan harmonisasi.


NILAI-NILAI LUHUR BUDAYA BANGSA

Ada nilai-nilai luhur budaya bangsa yang bisa diturunkan dan dirasakan manfaatnya dalam mempelajari seni tradisional. Pada dasarnya seni tradisional itu mengajarkan manusia menjadi lebih menghargai kebersamaan, gotong royong, tepo seliro, harmonisasi, keindahan, musyawarah, keseimbangan antara duniawi dengan akhirat, kesopanan, dsb.

Seni wayang kulit dalam budaya Jawa, misalnya. Tidak semata-mata hanya menceritakan pahit-manis kisah peperangan keluarga Pandawa-Kurawa, tetapi lebih dari itu menjadi sebuah alat bertutur antargenerasi untuk menularkan nilai-nilai budaya. Demikian juga seni pantun dalam kebudayaan Melayu Riau, menjadi sarana menyatukan perangai luhur adat Melayu dengan agama (Islam).


HARUS BELAJAR LAGI

Manfaat-manfaat inilah yang harus disadari masyarakat, khususnya para orangtua sehingga mereka bisa mengapresiasi kesenian tradisional dan kemudian menurun pada anak-anaknya. Orangtua terlebih dahulu harus bisa menghargai kesenian tradisional, baru kemudian bisa menularkannya pada anak.

Anak hanya akan menikmati dan menghargai apa saja yang tersedia di depannya dan relevan dengan zamannya. Jadi, kalau seni modern lebih mereka gandrungi, itu karena faktor kemudahan dan ketersediannya serta relevansi pada zaman dimana mereka hidup. Oleh karena itu apabila kesenian tradisional ingin dihargai secara seimbang, maka hal yang sama juga harus diterapkan pada kesenian tradisional. Misalnya, lebih mudah dan murah untuk dinikmati karena ada dimana-mana, serta dikemas dengan lebih menarik sehingga bisa relevan dengan zaman sekarang.

Selain itu, nilai kepraktisan juga menjadi pertimbangan bagi anak-anak dalam memilih sebuah kegiatan, termasuk kesenian. Seni modern cenderung lebih praktis dan tidak terlalu sulit dipelajari dan dinikmati, sedangkan kesenian tradisional lebih rumit, kurang fleksibel, dan terasa membebani mereka.

Anak hanya akan mengapresiasi apa yang bisa mereka nikmati dalam kesehariannya. Semua tergantung stimulasi yang diberikan orangtua sejak kecil di rumah. Kalau sejak kecil di rumah. Kalau sejak kecil mereka sudah dibiasakan dengan kesenian modern, maka jangan langsung mengharapkan mereka bisa mengapresiasi kesenian dan budaya tradisional, yang memang kurang mereka kenal.

Sebaiknya orangtua sejak kecil mulai membiasakan anak-anak mengenal seni dan budaya tradisional daerahnya masing-masing. Misalnya, penggunaan bahasa, mendengarkan musik tradisional di rumah, menonton pertunjukkan seni tradisional, memperkenalkan ritual kedaerahan mereka, dsb. Dan sebaiknya semua itu dilakukan dengan cara yang lebih FUN dan menarik bagi mereka - seperti pada saat liburan, melakukan perjalanan/travel budaya, atau menyaksikan festival seni di daerah asalnya.

Sumber: InspireKids Issue 46/2009