Pages

Monday, November 10, 2025

MUSIK TAK SEKEDAR OLAH BUNYI - Wawancara Khusus Kontributor Majalah Staccato | Staccato, November 2025

MUSIK TAK SEKEDAR OLAH BUNYI
(wawancara khusus dengan dua Kontributor Majalah Staccato)
Staccato, November 2025


Sebagian terbesar manusia menganggap bahwa musik adalah seni olah bunyi. Ya tentu anggapan tersebut sangat benar dan sudah tertanam berabad-abad sebagai sebuah batasan tentang musik. Namun sebetulnya, musik memiliki sisi dan bahkan semburat yang sekedar olah bunyi. Momentum musik layak dicatat dan didokumentasi. Teorema musik perlu dijabarkan dengan tulisan. Pemahaman filosofis tentang musik perlu dibingkai artikel. Untuk hal-hal semacam itulah MAJALAH STACCATO ada. Dan tentu peran besar tersebut tak lepas dari para kontributor handal. Mereka adalah para penulis hebat, berdedikasi, tak kenal Lelah, mencurahkan buah pikir lewat pena. Berada bersama STACCATO lebih dari satu dasawarsa. Mereka adalah ibu JELIA MEGAWATI HERU,M.Mus.Edu (JMH) dan Bapak MICHAEL GUNADI WIDJAJA (MGW).

 

Staccato mewawancarai kedua beliau. Untuk menggali serpihan mutiara yang mungkin semburatnya baru anda kenal. Siapa tahu ada yang akan menginspirasi atau menambah wawasan anda semua tentang musik yang tak sekedar olah bunyi.

 

1. Sejak kapan Mas Mike dan Ibu Jelia mulai menulis, dan apa yg mendorong anda untuk menulis?

JMH: Saat kuliah musik di Jerman, seorang Professor saya berpesan agar saya tak hanya berpiano, tak hanya mengajar, namun juga menulis, karena menulis itu adalah satu bentuk ketrampilan abstraksi materi. Orang yang mahir menulis tentu ia mahir menyampaikan gagasannya, dan ini sangat berguna bagi bidang pekerjaan saya sebagai Music Educator. Itu yang mendorong saya menulis dan sesampainya di Indonesia saya mulai menulis di Kompasiana, Citizen Journalistic dari harian KOMPAS. Saya bikin blog pribadi Jelia’sMusic Playground. Kemudian menulis sudah 3 buku tentang musik: Hitam Putih Piano, Pianolicious, dan Pengetahuan Dasar Musik Teori,  dan ya tentu saja di Majalah Staccato.

 

MGW: Sejak SMP dan SMA saya menjadi pemimpin redaksi majalah sekolah. Oh ya, majalah sekolah saya bukan lembar stensilan ya, tapi dicetak professional dan memiliki ijin terbit dari Departemen Penerangan, Direktorat Sosial Budaya, ini zaman Pak Harto ya. Setelah lulus SMA, saya menjadi penulis lepas di koran-koran terutama tentang ulasan Politik. Zaman ORBA lho. Salah tulis kepala hilang hahahaha. Beberapa kali juga menulis tentang seni dan kebudayaan. Bagi saya menulis itu menantang. Bagaimana menyuguhi orang Indonesia yang tidak gemar baca, dengan pengetahuan, informasi dan buah pikiran yang memaksa mereka untuk mau membaca?


2. Apa yang menginspirasi Anda untuk menulis, dalam bingkai profesi Anda? 

JMH: Begini. Keberadaan pendidikan musik tidak terlepas dari bahan tulisan. Kritik musik sudah dimulai sejak zaman Tchaikovsky. Hector Berlioz juga mewariskan buku tentang tulisan Treatise of InstrumentationSusanne K. Langer juga menulis buku dan artikel-artikel filsafat tentang seni dan musik. Itu menginspirasi saya. Bahwa profesionalitas sebagai Music Educator mutlak perlu ditopang dengan kemampuan menulis.

 

MGW: Saya itu muridnya Mas Slamet Abdul Sjukur. Kalo saya membaca tulisan almarhum, waaaahhh,dahsyat. Bom itu. Bisa meledak. Menusuk, menghunjam, mencabik, nakal, berani, setajam silet. Saya lalu terinspirasi. Oooo ternyata nulis musik itu juga bisa sedahsyat musiknya itu sendiri.

 

3. Menulis adalah keterampilan yg tidak mudah. Bagaimana Anda mengelaborasi keterampilan menulis Anda? 

 

JMH: Ya saya selalu meningkatkan keterampilan menulis. Membaca berbagai literatur untuk memperkaya perbendaharaan kosa kata, idiomatika, memparafrasekan ide. Juga mengelaborasi hal-hal non musik ke dalam konteks musik. Ini perlu latihan. Keras dan tidak mudah.

 

MGW: Saya ini sejak SD sampai SMA juara kelas melulu, Mas. Hahaha. Jadi masalah diksi, narasi, tata bahasa buat saya itu simpel. Tinggal bagaimana mengasah fenomena menjadi bahasa tulis. Misal. Bagaimana membahasa tuliskan peristiwa anak lari-lari kehujanan bawa payung robek ngejar tukang bakso, dalam pengkalimatan yang dramatis dan menarik.

 

4. Bagaimana dan sejauh mana pengalaman pribadi dan profesi Anda berkontribusi dalam Anda menulis? 

 

JMH: Ya pengalaman pribadiseperti perilaku siswa. Perilaku parents itu bahan tulisan pendidikan musik yang menarik dan tak ada habisnya. Juga bagaimana orang menilai profesi saya itu juga sangat berpengaruh terhadap bahan tulisan yang akan saya sajikan. Kontribusinya di situ.

 

MGW: Saya tidak pernah urusan dengan kontribusi pengalaman pribadi. Mungkin sudah terlalu banyak ya. Saya lebih banyak mengamati kekonyolan-kekonyolan yang dilakukan publik dalam musik untuk kontribusi tulisan saya. Misalnya guru piano yang IG nya selalu monyong-monyongin mulut, musisi yang norak, hal semacam itu.



5. Bagaimana Anda mencari dan menemukan ide-ide atau inspirasi dalam menulis?

 

JMH: Ya itu tadi, Mas. Peristiwa dalam pengalaman pribadi, karena saya juga penulis yang merangkap guru, dan pianis. Juga kadang curhat dari rekan-rekan dan teman-teman seprofesi.

 

MGW: Saya gak pernah cari ide. Mandang gelas kopi tiba-tiba ide nyamperin saya kok. 

 

6. Bagaimana Anda memastikan tulisan Anda obyektif dan adil? 

JMH: Komitmen profesi. Sebagai Music Educator profesionalitasnya itu ditentukan oleh komitmen. Komitmen untuk memberikan edukasi musik pada banyak orang. Sejauh komitmen itu kita pegang, tulisannya akan adil dan berimbang. Bagaimana menjaga komitmen? Sesekali merenung. Self introspection. Refleksi diri.

 

MGW: Gini deh. Semua tulisan tentang musik oleh Michael Gunadi DIJAMIN OBYEKTIF ADIL BERIMBANG. Lha wong saya nggak cari makan dari musik. Jadi gak ada kepentingan saya berpihak kan.

 

7. Menurut Anda skill yg harus dimiliki seorang penulis itu apa saja?

JMH: Ada dua, yaitu: technical skill dan content skill. Technical Skill - ini yang seperti Grammar, Idiom, Paraphrase ability. Content skill - ini tentang bahan apa yang mau disajikan dan dari sisi mana.

 

MGW: Tambah satu lagi. Skill MUKA TEBAL. Hahahahahah. Karena bisa saja kita menulis artikel itu di Bully lho. Hahahahahaha. 

 

8. Apa yang menjadi kepuasan Anda sebagai penulis? 

JMH: Saya senang jika saya bisa menunjukkan tulisan saya pada murid atau parents. Sering ada murid yang adakalanya merasa bosan atau jenuh. Saya tunjukin saja artikel saya di Staccato atau di Blog saya. Problem solved and everybody is happy. Juga ketika banyak sekolah musik yang mengkliping tulisan saya di Staccato. Digunting, di bundel itu something, karena at least tulisan saya menjadi sesuatu yang berarti untuk mereka. Lalu ada mahasiswa kalo Mas Eddy searching di Google itu banyak sekali yang menjadikan artikel saya sebagai rujukan. 

 

MGW: Saya tidak pernah urusan dengan pembaca. Kepuasannya adalah ketika saya berhasil menuangkan ide saya menjadi kalimat. Saya puas. Karena berarti pemahaman saya tentang satu ide sudah MOKSA TATAS NEMBUS BAWANA. Paham Khatam lah istilahnya.

 

9. Anda berdua memiliki karakter berbeda dalam menulis. Ibu Jelia lebih ke pengajaran musik. Pak Mic lebih ke pengetahuan dan isu-isu musik secara umum, dengan gaya tulisan yang kritis dan tajam. Apa alasan nya?

 

JMH: Saya kan profesinya Music Educator. Ya saya menulis apa yang saya kuasai. Pendidikan musik. Sebagai Music Educator saya wajib menjaga citra. Tidak mungkin kan saya foto berenang pakai bikini terus masuk IG. Karena nanti murid dan parents pada bingung. Saya menjaga citra itu. Dalam tulisan pun citra itu betul-betul saya jaga. Maka saya batasi topiknya ke materi edukasi musik yang edukatif. Bahasanya saya pilih yang normatif, lazim, proper, namun tentu saja dikemas menarik.

 

MGW: Kalau kritik, saya pakai bahasa yang tajam. Tapi, saya berpegang pada satu adagium. Jangan pernah melakukan ARGUMENTUM AD HOMINEM. Kritisi kebijakannya, perilakunya, pemikirannya. JANGAN PERNAH MENYERANG PRIBADI ORANGNYA. Sebetulnya tulisan saya ditujukan untuk meluruskan pendapat yang salah seputar musik. Banyak orang sok tahu yang kalau dibiarkan bisa menyesatkan. Lha terhadap manusia macam begini gak pas kalo saya bicara halus-halusan. Tapi tetap, no Argumentum Ad Hominem. Kalo Mas Edi ingat, tulisan saya di Staccato. Bagaimana saya mengkritisi Pianis Itali yang main Beethoven. Festival Gitar Asia, Pianis Jepang yang sampai nangis dan gak sanggup makan dua hari, Gitar Boutique yang harganya digoreng. Saya kritik dengan sangat tajam. Keras. Tapi tidak personal.

 

10. Sebagai penulis di bidang pengajaran musik, menurut anda, apa tantangan terbesar pengajaran musik dewasa ini? 

 

JMH: 

Tantangannya 

1. Attitude anak sekarang beda. Salah satu sebabnya ya Parents merasa sok modern dengan mengadopsi mentah-mentah cara edukasi USA tapi dengan democrazy yang nanggung. Bayangkan. Anak umur 5 tahun diajak dialog ditanyain mau les teori apa gak. 

2. Guru musik banyak yang terjepit antara idealisme dan ekonomi. 

3. Cara orang menikmati musik sudah beda. Jadi beberapa orang les musik anaknya untuk mendapat sesuatu yang lebih dari sekedar bisa main piano tanpa salah. Mereka mengharap anaknya mendapat inner sanctum. Asupan bathin untuk disiplin, self confidence, dan pemikiran yang teratur.

 

MGW: Ditambah lagi sikap materialistik. Banyak anak orang kaya yang memandang Guru Musik itu babu atau kacung papinya. Ini cilaka. Hal ini terjadi akibat pergeseran budaya yang sebetulnya miris dan berbahaya bagi generasi bangsa. 


 

11. Bagaimana dan apa yg harus dilakukan para pelaku pengajaran musik menghadapi tantangan tersebut? 

 

JMH : Ya adaptatif. Guru Musik harus menjadi SUPER HUMAN!!!!

 

MGW: Bargaining value nya juga harus tinggi. Mesti ditunjukin. Bahwa ini bukan guru yang tang ting tung terus bayar. Jadi ada respect nya.

 

12. Apa contoh tantangan dunia pengajaran musik, dan bagaimana menghadapi nya? 

JMH: Latihan piano vs nonton Netflix. Les Piano vs Lomba Debat sekolah. Les Piano vs Ultah oma,opa, tante. Latihan piano vs Les Tenis, Golf, Dance, mandarin. Hahahahahaha

 

MGW: Cara ngadepinnya? Ya gampang. Timbang aja. Worth it gak ini murid. Gak worth it ya cut. Hahahhaahahaha

 

13. Apa yang ingin anda capai dalam karier anda sebagai penulis? 

JMH: saya sudah menulis di majalah musik satu-satunya kan, blog pribadi juga sudah banyak yang baca, bikin buku juga sudah, menjadi nara sumber berkali-kali, menjadi penelaah buku musik.

 

MGW: Buat saya nulis itu bukan karier. Nulis itu expresi diri. Apa yang ingin dicapai ya gak ada. Pokok saya bisa berbagai pikiran, ide. Cukup begitu. Sederhana.

 

14 . Sampai kapan Anda akan menjadi penulis? 

JMH : Ill never quit

 

MGW : Idem Dito

 

15. Apa yang Anda berdua harapkan dari tulisan-tulisan Anda?

 

JMH : semakin menginspirasi banyak orang bahwa pendidikan musik mengandalkan juga literasi

 

MGW: Gini. Bahwa jangan mentabukan sesuatu hanya berdasar norma dan kebiasaan. Semua tergantung Nawaitu nya. Niatnya dan tentu hindari yang personal.

 

Ibu Jelia Megawati Heru dan Pak Michael Gunadi Widjaja. Keterangannya sungguh cerdas dan menggagas. Semoga menjadikan blantika musik tanah air semakin rindang dan sejuk penuh karya.