Pages

Saturday, May 7, 2016

PIANO FOR BUSY TEENS: "DUET VS DUEL" - by: Jelia Megawati Heru (Staccato, May 2016)

PIANO FOR BUSY TEENS:
"DUET VS DUEL"
by: Jelia Megawati Heru
Staccato, May 2016

Mengajar piano tidak pernah mudah. Mengajar piano untuk remaja? Oh oh, here comes double trouble! Bisa menjadi mimpi buruk bagi kebanyakan guru piano atau justru bisa menjadi tantangan tersendiri. Belajar piano pada usia remaja dibagi menjadi dua kategori, yaitu: remaja yang telah memulai pelajaran pianonya sejak dini dan remaja yang baru saja memulai pelajaran pianonya (late beginner). Masalah terjadi khususnya pada kategori remaja pemula (late beginner teens) yang masih menggunakan metode piano dalam awal kelas pianonya. Dimana pelajaran piano rawan dihinggapi virus kebosanan – lagunya itu-itu saja, so childish! Yang menuai banyak komplain/protes dalam berlatih. Belum lagi 1001 alasan yang membuat mereka hampir tidak pernah mengerjakan PR. “SIBUK,” katanya. (well, who doesn’t?)

Dunia seolah berputar hanya untuk mereka. Semua harus ‘waltzing’ dengan kondisi mood mereka yang berubah-ubah. Hari ini mungkin mereka suka lagu Pop, minggu depannya mereka ingin berhenti main piano? Arggghh! Perilaku murid remaja memang kontroversial, sulit diatur, dan membuat pusing tujuh keliling. Murid remaja bisa mengubah kelas piano menjadi sebuah “DUEL”. Siapa yang akan menang? Jadi apa yang sebaiknya dilakukan ketika buku metode tidak lagi berhasil? Saatnya untuk menjadi kreatif!



MASA TRANSISI
Masa remaja dikenal sebagai masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Not a child anymore, but not an adult yet! Dimana terjadi perubahan yang drastis, baik secara fisik maupun emosional. Hormon sering disebut-sebut sebagai biang keladinya atas semua perubahan mood bak roller coaster. Oleh karena hal ini melekatlah kesan individualis, egois, kritis, gampang be-te (moody), bawaannya galau melulu, dan haus akan hal-hal yang baru. Masa remaja juga menempatkan seseorang dalam kondisi rentan krisis identitas dan mau tidak mau harus melakukan apapun dalam rangka mencari jati diri mereka. Masa pembuktian diri, saatnya membuat pernyataan tentang siapa diri mereka, dan berusaha mendapatkan tempat serta memperoleh citra yang baik di mata publik.


PROBLEM MURID PIANO REMAJA
1. WAKTU
Alasan klise yang paling sering digunakan sebagai kambing hitam adalah “SIBUK”. Seolah kegiatan sekolah belum cukup, anak zaman sekarang punya begitu banyak les: Bahasa Inggris, Bahasa Mandarin, matematika, berenang, menggambar, piano, biola, vokal, sepak bola – you name it! Terlalu sibuk dengan urusan sekolah, aktivitas luar sekolah, dan tidak ada waktu yang tersisa untuk piano. Walau 10 menit saja tidak ada saking sibuknya. Sungguh aneh bin ajaib. Masuk akal kah seorang anak yang belajar piano, tidak punya jadwal latihan sama sekali?


Perlu diketahui, bahwa latihan piano tidak mungkin dilakukan di sisa-sisa waktu senggang. Menunggu waktu dimana anak telah melakukan semua kegiatannya yang lain dulu? Itupun kalau memang masih ada sisa waktu dan energi. Latihan piano justru perlu dilakukan di waktu terbaiknya (PRIME TIME), pada waktu anak bisa berkonsentrasi dengan baik dan tidak dalam kondisi kelelahan. Untuk itu perlu dilakukan manajemen pengaturan jadwal (daily & weekly schedule) yang baik, komitmen, dan kedisiplinan dalam eksekusinya. Ada harga yang harus dibayar. Kalau tidak bersedia meluangkan waktu dan memprioritaskan piano, lebih baik ide belajar piano perlu dikaji ulang. Karena ujung-ujungnya tidak akan berakhir dengan happy ending.

2. ORANG TUA TIDAK MENDUKUNG
Kegagalan anak dalam belajar piano bukanlah semata-mata 100% tergantung pada anak saja. Sebuah pelajaran selalu melibatkan tiga pihak, yaitu: guru – murid – orang tua. Karena anak sudah remaja, bukan berarti orang tua bisa lepas tangan dan tidak mengontrol latihan anak di rumah. Dukungan orang tua sampai kapanpun tetap diperlukan. Kategori orang tua yang tidak mendukung diartikan sebagai orang tua yang terlalu sibuk bagi anaknya. Orang tua yang hanya menuntut anaknya tanpa bisa mendisiplinkannya. Tidak ada komunikasi atau tidak pernah mau tahu-menahu tentang kemajuan maupun problem yang dialami anak. Bahkan tidak peduli apakah anak suka atau tidak dengan pelajaran piano nya. SIBUK terlalu sering dikambing-hitamkan dan pada satu titik tampaknya sudah tidak dapat ditolerir lagi.   


3. PROBLEM DALAM LATIHAN
Masalah yang tidak kenal umur: LATIHAN! Murid remaja biasanya rentan memutuskan berhenti belajar piano, karena mereka tidak mempunyai motivasi dan komitmen untuk berlatih. Sulitnya orang tua sama-sama sibuk, orang tua juga tidak pernah menerapkan disiplin terhadap anaknya. Padahal orang tua-lah yang seharusnya menerapkan kedisiplinan di rumah, bukan guru piano. Jadi tidak ada konsekuensi apapun, apabila anak tidak mengalami kemajuan atau tidak latihan di rumah. Ketika sudah kehabisan alasan, berhenti belajar piano kelihatan seperti keputusan yang masuk akal.

Rumus berhenti belajar piano yang sempurna: 
 tidak ada waktu + tidak disiplin + tidak ada motivasi + tidak latihan 
+ tidak ada konsekuensi + orang tua tidak peduli 
= BERHENTI BELAJAR PIANO

Sayangnya tidak ada rumus baku yang membuat anak termotivasi. Kita hanya bisa memupuk dan menginspirasi anak, melakukan semua peran kita masing-masing sebagai guru dan orang tua. Namun pada akhirnya motivasi dan kecintaan bermain musik sesungguhnya harus datang dari dalam diri anak sendiri.   


4. PIANO TIDAK MEMADAI
Satu hal yang mungkin tidak diketahui orang tua adalah ketika level anaknya meningkat, dibutuhkan instrumen musik yang lebih memadai. Banyak anak yang memulai pelajaran pianonya dengan PIANO DIGITAL, karena alasan ekonomis, ruang, dan pertimbangan takut anak berhenti di tengah jalan padahal sudah beli mahal-mahal. 

Ya, piano akustik tidak murah! Namun seiring dengan kemajuan anak, terutama yang berada di level intermediate, piano digital menjadi sudah kurang relevan. Karena tuntutan teknik permainan piano anak bukan lagi hanya sekedar menekan tuts yang benar. Tapi bagaimana suatu nada itu dimainkan? Bukan hanya staccato – legato atau piano – forte saja. Untuk itu anak membutuhkan instrumen musik yang lebih memadai. Jangan lupa piano akustik perlu di-tuning minimal setahun sekali dan diregulasi untuk mendeteksi adanya kerusakan. Piano yang mekaniknya rusak dan nadanya sumbang akan menjadi masalah tersendiri dalam berlatih. Piano yang memadai turut memberikan kontribusi yang positif bagi kemajuan pendidikan musik sang anak.  

TIPS MENGHADAPI MURID PIANO REMAJA


1. KEJUJURAN DAN EMPATI
Kejujuran memegang peranan penting dalam menciptakan sebuah hubungan guru dan murid yang positif. Dimana seorang guru bukan hanya bekerja demi uang semata, tetapi mempunyai kepedulian (GENUINE INTEREST) terhadap anak didiknya. Sehingga seorang remaja bisa terbuka, nyaman, dan percaya pada gurunya. The more they trust you, the more you get out of them. Tidak ada salahnya menggunakan beberapa menit untuk mengenal mereka dan berkomunikasi dengan mereka.   

Kadang mereka tidak sempat latihan karena ujian sekolah dan padatnya les pelajaran mereka. Mungkin juga mereka punya masalah keluarga, masalah pelajaran di sekolah? Masalah anak remaja terbilang cukup kompleks - mulai dari urusan cinta-cintaan, pertemanan, hingga urusan fashion. Life could be so tough, you’ll never know. Oleh karena itu ada kalanya guru sebaiknya memberikan sedikit kelonggaran, menunjukkan rasa empati, dan pertimbangan terhadap kondisi murid yang tidak selalu fit.


Kita tidak perlu mengubah kelas piano menjadi sebuah sesi terapi curhat, terkadang mereka hanya perlu didengar suaranya. “All you need is love. But a little chocolate now and then doesn’t hurt!” – Lucy van Pelt (Charlie Brown and Peanuts). Jadilah partner dan pendukung No.1 nya! Cobalah untuk tetap positif dan optimis. Hindari kata-kata yang bernada sumbang, judgemental, negatif atau hyper-critical. Berikanlah pujian dan masukkan yang konstruktif. Semuanya tidak akan ada artinya, apabila mereka melakukan sesuatu hanya karena terpaksa. Usahakan agar tuntutan realistis dan sesuai dengan kondisi murid. Sehingga murid terhindar dari rasa frustrasi/stress, tertekan, dan rasa terpaksa dalam mengerjakan tugas.


2. FLEKSIBEL
Tidak ada yang lebih memusingkan daripada menghadapi tuntutan antara kurikulum sekolah musik, keinginan orang tua, dan keinginan sang murid. Alih-alih menjadi control freak atau diktator, guru bisa memberikan kesempatan bagi murid untuk ikut berpartisipasi dan paling tidak sedikit “bertanggung jawab” dalam pelajaran piano nya. Jadilah optimis dan berikanlah kepercayaan kepada murid! Lagipula ini bukan one man show, tetapi teamwork! Jadilah fleksibel dan pertimbangkan pendapat mereka akan lagu apa yang ingin mereka mainkan. Tentunya tanpa membiarkan mereka menjadi big boss! Mungkin bukan ide yang buruk untuk memainkan satu lagu dari kurikulum dan satu lagu pilihan mereka sendiri. Atau bisa juga memilih lagu-lagu yang berdurasi pendek, namun berbobot.


3. ALTERNATIF REPERTOIRE (PILIHAN & RELEVAN)
Stop memperlakukan murid seolah-olah mereka adalah concert pianist yang profesional! Repertoire piano klasik agaknya seringkali menjadi obat tidur, terutama bagi kalangan remaja. Karena materi nya itu-itu saja, membosankan, dan tidak relevan dengan dunia mereka. Oleh karena itu guru harus terbuka terhadap PILIHAN (OPTION) repertoire abad ke-21 dan lagu yang ingin mereka mainkan. Entah itu soundtrack movie atau genre musik lainnya. Secara kita hidup bukan di zaman batu lagi, sudah saatnya kita melek teknologi. Penggunaan teknologi terbukti efektif dalam membantu proses belajar. Anda bisa mengunduh partitur lagu, aplikasi metronome, games, sampai latihan aural/ear training. Jadilah guru piano abad ke-21!


4. MEMBERIKAN TANTANGAN
Satu hal yang juga bisa memotivasi murid adalah dengan memberikan mereka tantangan. Ubah sudut pandang mereka dari keharusan melakukan sesuatu yang tidak disukai menjadi sebuah tantangan. Sesuatu yang berada di luar zona nyaman mereka. Berikan mereka suatu tujuan, suatu alasan, mengapa mereka berlatih piano. 


Bentuk tantangan bisa bermacam-macam,  bisa berupa tugas yang sedikit lebih sulit atau sesuatu yang lebih kompetitif. Sebuah project, sebuah resital piano/konser, membuat video untuk dimasukkan ke youtube, piano cover, atau bermain duet/ensemble. Semakin besar aspek sosial yang dilibatkan dalam sebuah kelas musik, semakin anak termotivasi untuk membuktikan diri mereka.


5. KEEP THEIR INTEREST!
Selain mengenal jiwa dan karakter anak didik, satu hal yang bisa dilakukan agar murid tetap termotivasi adalah dengan MENDENGARKAN MUSIK. Dan itu tidak hanya terbatas pada Musik Klasik saja, tetapi genre musik apapun – musik yang sedang populer/trending dan up-to-date. Semakin banyak dan variatif musik yang didengarkan, semakin murid mengenali diri mereka dan semakin besar kemungkinan mereka terinspirasi untuk tetap bermain piano. Tidak ketinggalan, sang guru pun butuh musik dan perlu mendengarkan musik. Karena guru piano adalah sosok panutan dan inspirasi bagi muridnya. Pertanyaannya: “Apakah sang guru masih mempunyai musik di dalam diri mereka?”
“Musicians don’t retire!
They stop when there’s no more music in them.”
- Louis Armstrong -