Pages

Friday, May 10, 2013

"BE A BETTER MUSICIAN, BE A BETTER MUSIC TEACHER"

“BE A BETTER MUSICIAN, BE A BETTER MUSIC TEACHER.
For a Good Music Teacher Could Make a Difference 
and Creates Better Generation”

Liputan Kodály Workshop dengan Dr. James Cuskelly
Oleh: Jelia Megawati Heru
(STACCATO Mei 2013)


Pada tanggal 10-11 April 2013 lalu diselenggarakan sebuah workshop yang mengusung tema Kodály Method, bertempat di House of Piano dan Sekolah Pelita Harapan (SPH). Workshop ini terselenggara berkat usaha dari Elaine Waworuntu, seorang guru musik yang aktif dan berdedikasi dalam bidang Kindermusik, yang menekankan  Metode Dalcroze, Kodaly, serta Orff. Workshop ini menampilkan pembicara dari Australia, yaitu Dr. James Cuskelly



Dr. James Cuskelly merupakan Head of Faculty dari Creative Arts at St Aidan’s Anglican Girl’s School - Brisbane, Vice-President of the International Kodály Society, Director of the Queensland Kodály Choir and conductor of the women’s performing ensemble - Valency Ensemble, Director of the Summer School Music Program in Brisbane, Malaysia, and Thailand, also Director of the Cuskelly College of Music.


Beliau memaparkan tentang pentingnya pendidikan musik dengan methode Kodály yang menekankan kepada pembentukan kualitas kemampuan bermusik (musicianship) yang tinggi bagi setiap anak. Materi mencakup pelatihan solfège (movable-do & fixed-do) dengan menggunakan hand signs, rhythmic language/syllables, bahan ajar pedagogi dasar, filosofi dari metode pengajaran Kodály, bernyanyi, aural - kemampuan memahami musik secara indrawi, seperti: mendengarkan musik (listening), mengasah ketajaman pendengaran (ear training & inner hearing); serta kombinasi gerakan yang sesuai dengan musik lewat permainan. Peserta yang hadir berasal dari kalangan guru musik di sekolah musik, guru sekolah umum khususnya bagi anak usia dini, maupun praktisi musik yang aktif dalam paduan suara.


Sekilas Mengenai Zoltan Kodály

Zoltan Kodály (1882-1967) sendiri adalah seorang komposer Hungaria, performer, etnomusikolog, dan pendidik musik. Pada 1930 ia terinspirasi dan dipandu rekan-rekannya untuk mengembangkan sistem yang komprehensif pendidikan musik dari kecil hingga dewasa di sekolah Hungaria untuk memberantas “buta aksara” dalam musik (music literacy).  Seperti layaknya bahasa, setiap orang memiliki kemampuan untuk mendengar, bernyanyi, membaca, dan menulis musik – atau dengan kata lain: memiliki akses untuk memahami musik. Inilah yang dilatih dalam kemampuan bermusik (musicianship).

“We should read music in the same way 
that an educated adult will read a book: 
in silence, but imagining the sound.”  
(Zoltan Kodály, 1954)

Sejak zaman Yunani kuno, tubuh (gerakan dan bernyanyi) dipercaya sebagai media terbaik untuk memproduksi musik itu sendiri. Kodály percaya bahwa hanya musik terbaik oleh komposer terbesar dan musik rakyat (folks music) dengan bahasa ibu (mother tongue) dan elemen musik yang telah digunakan berabad-abad adalah materi yang paling representatif dalam mengajarkan musik dan menanamkan rasa cinta musik kepada anak-anak. Di sini, untuk pertama kalinya, anak-anak menerima pelajaran musik setiap harinya. Dalam dekade berikut, metode ini disempurnakan dan dikembangkan mulai dari tingkat taman kanak-kanak ke universitas, hingga Akademi Musik Liszt di Budapest. 

“The characteristics of a good musician are a well trained ear, 
a well trained mind, a well trained heart and well trained hands.” 
-Zoltan Kodály-

Banyak hal yang bisa dipelajari dari workshop ini dan menjadi bahan refleksi untuk para musisi, praktisi musik, dan guru musik di Indonesia. Musik bagi masyarakat Eropa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kultur dan budaya bangsanya, serta identitas pribadinya sebagai seorang individu yang utuh. Mereka mengerti bahwa suatu negara akan hancur apabila warisan kultur-budaya suatu bangsa ini punah. Mereka menginginkan generasi yang lebih baik di masa mendatang, oleh karena itu mereka hanya menempatkan guru-guru musik lulusan terbaik mereka yang berkualitas tinggi dan yang dapat menginspirasi anak-anak (teacher as the prime role musician model), untuk menghasilkan murid yang jauh lebih berkualitas dari yang sebelumnya.

“It is much more important who the singing master at Kisvarda (small village) is than who the director of the Opera House is,  
because a poor director will fail. (Often even a good one.) 
But a bad teacher may kill of the love of music 
for thirty years from thirty classes of pupils.” 
(Zoltan Kodály, 1929)

Sebuah musik yang berkualitas tinggi tentunya menuntut pengajaran berkualitas pula. Bagaimana mungkin seorang guru musik yang tidak bisa bernyanyi, akan dapat menghasilkan murid yang baik? Miris rasanya melihat kondisi pendidikan musik di tanah air yang marak dengan menjamurnya sekolah-sekolah musik yang tanpa beban moral memperlakukan musik layaknya bisnis semata, bak kacang goreng; tanpa mempertimbangkan efek samping dari malpraktik pendidikan musik yang mereka jalankan. 

Tidak heran kalau anak-anak sekarang tidak bisa bernyanyi dan tidak menghargai musik. Ketika mereka bisa memainkan instrumen musik pun, apakah itu bisa dikatakan bahwa mereka berarti memahami musik dan apakah yang mereka mainkan itu musik? Belum tentu…   

We should ask ourselves what are we risk here, if we give a wrong music education to our children. Umumnya masyarakat berpikir “toh ini hanya musik”. There’s nothing harm and deadly, if we do mistakes in teaching music. Totally wrong! Jangan heran kalau Indonesia dikatakan sebagai bangsa yang tidak bermoral dan menjadi “jawara” dalam korupsi, baik pada tingkat regional maupun internasional.

"The pure soul of the child must be considered sacred;
what we implant there must stand every test,
and if we plant anything bad, we poison his soul for life."

-Zoltan Kodály-
Metode Kodály sendiri sebetulnya bukanlah metode ajaib dan baru. Kodály sendiri mengatakan “Hungarian way is not the only way!”. Indonesia telah menggunakan metode ini dan telah menerapkannya dalam lagu-lagu tradisional Indonesia. Hasilnya pun luar biasa dan mengharumkan nama Indonesia. Meet Saung Udjo dalam alunan angklungnya di Bandung, Jawa Barat. 

Lucunya justru masyarakat Indonesia sendiri tidak tahu-menahu tentang hal ini dan  acuh tak acuh, semata-mata karena angklung bukan alat musik standar Barat dan terkesan “kampungan”. Padahal musik yang dimainkan merupakan kategori musik yang ideal bagi pendidikan musik yang berkualitas. Tampaknya sudah saatnya Indonesia “melek” dan melirik khasanah warisan budaya sendiri, dibandingkan terpesona dengan gemerlapnya dunia Barat. Jangan tunggu sampai diklaim oleh tetangga sebelah! Start with yourself! It’s time…

“Be a better musician, be a better teacher.
For a good teacher could make a difference, and creates better generation!”